JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Politik Islam dari The Political Literacy, Muhammad Hanifuddin, memaparkan soal efek dari mundurnya KH Miftachul Akhyar dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Menurutnya, mundurnya KH Miftachul Akhyar ini bisa jadi contoh baik bagi budaya organisasi di Indonesia. Apalagi, dalam hal ini politik terkait terkait islam.
“Mundurnya Kiai Miftah adalah contoh kepatuhan etik organisasi. Membuktikan komitmen Kiai Miftah untuk tidak rangkap jabatan saat dipilih menjadi Rais Am PBNU di Muktamar 34 Lampung," katanya kepada Kompas.tv, Kamis (10/3/2022).
Ia pun mencontohkan, budaya seperti ini sangat bagus dan harus ditiru oleh tokoh dan elite organisasi lainnya.
“Termasuk di dalamnya adalah elite dan pengurus partai politik,” paparnya.
Hanifuddin pun menjelaskan, secara teoritis, semisal dalam pandangan Max Weber (1864-1920), birokrasi atau organisasi modern harus dijalankan dengan prinsip spesialisasi dan efisiensi.
Dalam artian, lanjutnya, fokus terhadap satu fungsi yang diamanatkan. Hal ini penting agar memaksimalkan potensi untuk menjalankannya.
“Karena itu, rangkap jabatan perlu diminimalisir. Apalagi PBNU dan MUI adalah dua lembaga yang besar dan strategis,” tambahnya.
Baca Juga: Resmi! KH Miftachul Akhyar Mundur dari Ketum MUI
Dalam sejarah politik Islam di Indonesia, beberapa nama ulama juga mengemban amanah dobel tersebut, menjadi Rais Aam PBNU sekaligus Ketum MUI.
Contohnya adalah KH Maruf Amin yang pernah jadi Rais Aam PBNU dan Ketum MUI sebelum dipilih jadi Wapres Jokowi.
Lalu ada ulama kharimastik Almagfurlah KH Sahal Mahfudz yang jadi Rais Aam PBNU dan Ketum MUI.
Secara tradisi, ketika ulama dari NU terpilih jadi Ketum MUI, maka sekjen adalah dari Muhammadiyah.
Ketika Maruf Amin terpilih jadi ketum MUI, maka Anwar Abbas dari Muhammadiyah jadi Sekjen.
Periode KH Miftachul Akhyar jadi Ketum MUI, Sekjennya adalah Buya Amirsah Tambunan dari Muhammadiyah.
KH Miftachul Akhyar bercerita soal alasan ia mundur dari Ketum MUI.
Ia juga menyebut soal Bid’ah dalam organisasi ketika mendapatkan dua amanah sekaligus jadi pemimpin organisasi umat Islam tersebut.
"Semula saya keberatan, tapi kemudian saya takut menjadi orang pertama yang berbuat bid'ah di dalam NU. Karena selama ini Rais Aam PBNU selalu menjabat Ketua Umum MUI," jelasnya.
Saat ini, Kiai Miftah menambahkan, dirinya merasa bid'ah itu sudah tidak ada lagi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.