JAKARTA, KOMPAS.TV – Petugas Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta (Kejati DKJ) menggeledah sejumlah tempat terkait kasus skandal dugaan korupsi proyek Technopark yang digarap PT Hutama Karya (Persero) tahun 2018-2020.
Usai penggeledahan yang dilakukan beberapa waktu lalu itu, Direktur Utama (Dirut) PT Hutama Karya (Persero), Budi Harto membeberkan kronologi kasus dugaan korupsi Technopark yang berpotensi merugikan negara Rp1,2 triliun.
Baca Juga: Daftar 16 BUMN yang Dapat PMN Rp44,24 Triliun, Hutama Karya Terbesar, ASABRI Nomor 2
Menurut Budi Harto, pada 2018 pihaknya mendapat penawaran kerja sama dari PT Cempaka Surya Kencana (CSK), PT Azbindo Nusantara (Azbindo) dan Aziz Mochdar (AM) berupa pengembangan tanah milik PT CSK di Jalan Gatot Subroto seluas 5 hektare untuk dijadikan proyek Technopark.
Namun, seiring berjalannya waktu, skema transaksi tersebut berubah ketika anak usaha Hutama Karya, PT HK Realtindo (HKR) mengakuisisi 55 persen saham milik Azbindo di PT CSK.
HKR bahkan telah membayar uang komitmen awal senilai Rp200 miliar, sebagai syarat due dilligence (uji tuntas) atas objek saham tersebut.
"Setelah melalui beberapa kesepakatan awal, para pihak menyepakati Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Berita Acara Kesepakatan (BAK) akuisisi pada tanggal 2 - 3 Desember 2019 untuk pengambilalihan objek saham senilai Rp2,2 triliun," jelas Budi Harto melalui keterangan resminya di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Pembayaran saham sebesar Rp2,2 triliun tersebut rencananya dilakukan dengan konversi uang komitmen awal senilai Rp200 miliar, dan sisanya sebesar Rp2 triliun akan dibayar dengan Akta Pengakuan Utang.
Pada 21 Februari 2020, lanjut dia, dilakukan penadatanganan Akta RUPS, Akta Jual Beli, Akta Pengakuan Utang Rp2 triliun, dan Akta Gadai Atas Objek Saham untuk menjamin pembayaran utang Rp2 triliun dari HKR kepada Azbindo.
Selanjutnya, PT CSK meminjam dana Rp1 triliun kepada HKR untuk pelaksanaan kerja sama proyek Technopark itu dengan jaminan dua surat tanah, yakni SHGB No. 122/Kuningan Barat seluas 17.910 m2 dan SHGB No. 335/Kuningan Barat seluas 146 m2.
Ia menambahkan, saat proyek itu belum terealisasi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengeluarkan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) yang menyimpulkan adanya penyimpangan tata kelola perusahaan dalam transaksi pengambilalihan objek saham, salah satunya karena objek tanah bermasalah hukum.
"BPKP telah mengeluarkan LHAI dengan kesimpulan terdapat penyimpangan GCG dalam transaksi pengambilalihan objek saham, salah satunya karena objek tanah tidak clean and clear," urainya.
Akibatnya, PT HK Realtindo (HKR) tidak melunasi harga saham sebesar Rp2 triliun.
Penghentian sepihak ini lantas memicu gugatan terhadap Hutama Karya dan anak usahanya HKR di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
"CSK, Azbindo dan Aziz Mochdar menggugat HK-HKR di PN Jaktim untuk membatalkan transaksi dengan dalil bahwa HK-HKR telah melakukan tipu daya dengan melakukan pengambilalihan objek saham menggunakan promissory note, di satu sisi Akta Jual Beli menuliskan harga saham telah dibayar lunas," bebernya.
Baca Juga: Kejari Jaksel soal Kasus Kebakaran Gedung Cyber 1 Jakarta yang SP3: SPDP Tak Pernah Kami Terima
Sementara, HK-HKR juga mengajukan gugatan rekonvensi untuk membatalkan transaksi, dengan alasan adanya tipu daya dari PT CSK, Azbindo dan AM.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.