Perdana Menteri Papua Nugini James Marape terpaksa membela perjanjian ini dari gelombang protes dan kritik, dengan beberapa penentang mempertanyakan apakah Papua Nugini sedang menyerahkan kedaulatannya.
"Kita telah membiarkan militer kita terkikis dalam 48 tahun terakhir," kata PM James Marape kepada parlemen hari Rabu malam, (14/6/2023), "Kedaulatan didefinisikan oleh kekuatan dan ketangguhan militer Anda," tambahnya.
Kaya akan sumber daya alam dan dekat dengan jalur pengiriman logistik kunci, Papua Nugini semakin menjadi pusat tarik menarik diplomatik antara Washington dan Beijing.
Baca Juga: Retno Marsudi Tekankan Kolaborasi di Indo-Pasifik: Jangan Sampai Jadi Teater Rivalitas Kekuatan
Mantan Perdana Menteri Peter O'Neill mengatakan perjanjian ini menarik perhatian pada Papua Nugini.
"Amerika melakukannya untuk melindungi kepentingan nasional mereka sendiri, kita semua memahami geopolitik yang terjadi di kawasan kita," katanya.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden seharusnya mengunjungi Papua Nugini untuk menandatangani perjanjian ini, tetapi perjalanan tersebut digagalkan oleh pertikaian anggaran di Kongres Amerika Serikat.
Washington berusaha memikat negara-negara di Pasifik dengan berbagai insentif diplomatik dan keuangan sebagai imbalan untuk dukungan strategis, setelah langkah serupa oleh Beijing.
Perusahaan-perusahaan China mengakuisisi tambang dan pelabuhan di seluruh Pasifik, dan tahun 2022 menandatangani perjanjian keamanan rahasia dengan Kepulauan Solomon yang berdekatan, yang dapat memungkinkan China menggelar pasukan dan senjata ke negara tersebut.
Amerika Serikat khawatir pijakan militer China di Pasifik Selatan dapat melampaui fasilitas mereka di Guam, dan membuat pertahanan Taiwan menjadi lebih rumit dalam situasi invasi oleh China daratan terhadap Taiwan.
Sumber : Straits Times / France24
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.