Kompas TV nasional politik

Analis Sebut Jakarta Jadi Kekuatan Penting Politik, Upaya Cawe-Cawe Gagal

Kompas.tv - 7 Desember 2024, 21:47 WIB
analis-sebut-jakarta-jadi-kekuatan-penting-politik-upaya-cawe-cawe-gagal
Ilustrasi pilkada serentak 2024. Link hasil quick count Pilkada 2024 (Sumber: kpi.go.id)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV –  Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto berpendapat bahwa saat ini Jakarta menjadi kekuatan penting politik yang tidak mudah untuk diprediksi.

Arif menyampaikan pendapatnya tersebut dalam diskusi ”Jaga Demokrasi di Jakarta!” oleh Komunitas Utan Kayu, Jakarta, Sabtu (7/12/2024).

”Jakarta kekuatan penting politik yang tak mudah diprediksi. Upaya membuat tatanan Indonesia menjadi monolitik gagal,” ucapnya, dikutip Kompas.id.

Arif menyampaikan hal tersebut seiring gagalnya dugaan cawe-cawe dan pengerahan alat negara untuk kemenangan pasangan calon tertentu dalam Pilkada Jakarta 2024.

Hal ini berbeda dengan Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, dan daerah lain.

Baca Juga: KPU Jakarta Rapat Pleno Rekapitulasi, Pemenang dan Putaran Pilkada Segera Diumumkan

Salah satu faktor yang mengubah peta politik, menurutnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang menyatakan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (Kompas, 20/8/2024).

”Elite menduplikasi cawe-cawe dari level nasional ke seluruh daerah,” ucapnya.

“Terlihat seperti pilkada berjalan transparan, tetapi tidak sepenuhnya baik-baik saja karena ada problem di sana-sini. Dan, Jakarta jadi sebuah batu uji yang menunjukkan bahwa proses kematangan demokrasi masih panjang,” bebernya.

Cawe-cawe yang ia maksudkan antara lain dukungan dari mantan Presiden Jokowi dan Presiden Prabowo kepada pasangan calon tertentu, baik dalam pernyataan langsung maupun video.

Oleh karena itu, Arif mengajak semua pihak untuk mengawal tahapan pilkada hingga tuntas. Tak lupa memastikan janji politik saat kampanye bukan imajinasi semata.

”Mudah-mudahan politik Jakarta jadi contoh bagus karena mendapatkan tatanan beragam. Tidak monolitik. DPRD dikuasai partai berbeda sehingga ada saling mengontrol,” ujar Arif.

Sementara, Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad, menyebut dalam 10 tahun terakhir terjadi pengondisian dan kompetisi terbatas yang merugikan pihak berseberangan.

Artinya, suatu kondisi pemilu yang kelihatan seakan ada kompetisi, tetapi sebenarnya semu lantaran telah dikondisikan oleh elite.

”Sepuluh tahun terakhir hal ini terjadi. Ada pengondisian dan kompetisi secara terbatas yang merugikan pihak berseberangan. Kompetisi semu ini urung terjadi karena putusan MK dan hasil pilkada di Jakarta,” bebernya.

Ia berpendapat, masyarakat Jakarta yang hampir 70 persen merupakan lulusan SMA sederajat lebih kritis sehingga pengondisian tidak terlalu mempan.

Faktor lain adalah toleransi terhadap politik uang lebih rendah daripada Banten dan Jawa Tengah. Bisa jadi warga Jakarta menerima uang, tetapi pilihannya berbeda.

Baca Juga: Kalah di Pilkada Depok, Imam-Ririn Ajukan Gugatan ke MK

”Dukungan dari Prabowo dan Jokowi juga tidak efektif. Ini tecermin dari hasil exit poll ketika ditanya apakah tahu Jokowi dan Prabowo mendukung, tetapi pilihannya berbeda,” ujar Saidiman.

Ini berkebalikan dengan dukungan Anies dan Ahok. Dukungan dua mantan Gubernur DKI Jakarta itu menguatkan suara pasangan calon.

Berdasarkan rekapitulasi suara oleh KPU di enam wilayah administrasi kabupaten/kota se-Jakarta, Pramono-Rano, unggul dengan perolehan 2.183.239 suara atau 50,07 persen.

Selanjutnya menyusul Ridwan Kamil-Suswono dengan total suara 1.718.160 suara atau 39,41 persen. Lalu, Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang meraih 459.230 suara atau 10,52 persen.


 




Sumber : Kompas.id




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x