”Mudah-mudahan politik Jakarta jadi contoh bagus karena mendapatkan tatanan beragam. Tidak monolitik. DPRD dikuasai partai berbeda sehingga ada saling mengontrol,” ujar Arif.
Sementara, Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad, menyebut dalam 10 tahun terakhir terjadi pengondisian dan kompetisi terbatas yang merugikan pihak berseberangan.
Artinya, suatu kondisi pemilu yang kelihatan seakan ada kompetisi, tetapi sebenarnya semu lantaran telah dikondisikan oleh elite.
”Sepuluh tahun terakhir hal ini terjadi. Ada pengondisian dan kompetisi secara terbatas yang merugikan pihak berseberangan. Kompetisi semu ini urung terjadi karena putusan MK dan hasil pilkada di Jakarta,” bebernya.
Ia berpendapat, masyarakat Jakarta yang hampir 70 persen merupakan lulusan SMA sederajat lebih kritis sehingga pengondisian tidak terlalu mempan.
Faktor lain adalah toleransi terhadap politik uang lebih rendah daripada Banten dan Jawa Tengah. Bisa jadi warga Jakarta menerima uang, tetapi pilihannya berbeda.
Baca Juga: Kalah di Pilkada Depok, Imam-Ririn Ajukan Gugatan ke MK
”Dukungan dari Prabowo dan Jokowi juga tidak efektif. Ini tecermin dari hasil exit poll ketika ditanya apakah tahu Jokowi dan Prabowo mendukung, tetapi pilihannya berbeda,” ujar Saidiman.
Ini berkebalikan dengan dukungan Anies dan Ahok. Dukungan dua mantan Gubernur DKI Jakarta itu menguatkan suara pasangan calon.
Berdasarkan rekapitulasi suara oleh KPU di enam wilayah administrasi kabupaten/kota se-Jakarta, Pramono-Rano, unggul dengan perolehan 2.183.239 suara atau 50,07 persen.
Selanjutnya menyusul Ridwan Kamil-Suswono dengan total suara 1.718.160 suara atau 39,41 persen. Lalu, Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang meraih 459.230 suara atau 10,52 persen.
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.