JAKARTA, KOMPAS.TV - Alissa Wahid selaku Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjelaskan dua tantangan utama NU saat ini dan ke depan.
Kedua tantangan tersebut adalah memperkuat jamiah organisasi NU dan menghadapi berkembangnya keberagamaan.
“Tantangan NU di masa mendatang ada beberapa ya. Pertama, untuk memperkuat jamiah organisasi NU sendiri,” tuturnya dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (7/2/2023).
“Kedua, menghadapi berkembangnya keberagamaan, terutama dalam hal ini keberagamaan Islam, itu yang tidak selaras dengan apa yang selama ini dihidupkan di Nahdlatul Ulama, yaitu dengan menganut atau mengikuti paham ahlussunnah wal jamaah.”
Ia mencontohkan pihak-pihak yang memperjuangkan khilafah islamiyah dan mereka yang beragama secara eksklusif.
Baca Juga: Pengamat Sebut Perlu Kiai Senior untuk Islah PBNU dan PKB, Agar Gesekan Tak Meluas
“Mereka yang memperjuangkan Khilafah Islamiyah misalnya, itu bertentangan dengan apa yang selama ini dicita-citakan oleh Nahdlatul Ulama.”
“Mereka yang beragama secara eksklusif, artinya membuat jarak antara kami sebagai umat Islam dengan orang lain yang beragama berbeda,” tuturnya.
Eksklusivitas tersebut, lanjut dia, tentu saja berbeda dengan apa yang dipraktikkan oleh Nahdlatul Ulama.
Nahdlatul Ulama, menurut Alissa, menganut ukhuwah basyariyah atau persaudaraan kemanusiaan maupun ukhuwah wathoniyah, persaudaraan sebangsa, sesama bangsa Indonesia.
“Jadi, ini dua tantangan terbesar, yang pertama, di dalam organisasi dalam hal ini memperkuat organisasinya untuk melayani jamaah, agar jamaah NU menjadi lebih sejahtera, lebih berkualitas, menjadi lebih maju.”
“Kedua adalah menghadapi tantangan keberagamaaan itu sendiri,” tegasnya.
Saat ditanya bagaimana cara NU memastikan jutaan umatnya akan satu suara, Alissa hanya menyebut bahwa sampai saat ini dapat dilihat bahwa warga NU lebih terbuka terhadap perbedaan.
“Sampai selama ini, kita bisa melihat bahwa warga NU adalah warga yang lebih terbuka terhadap perbedaan dan persaudaraan.”
Alissa mencontohkan keputusan Nahdlatul Ulama pada tahun 2019. Ketika itu, para alim ulama menyatakan bahwa dalam negara republik, istilah kafir tidak bisa digunakan untuk menanggapi hak-hak kewarganegaraan.
“Jadi, warga negara Indonesia itu setara. Dalam konstitusi setara, dan dalam ajaran Islam juga setara, dalam konteks kehidupan kenegaraan.”
“Artinya, tidak boleh kemudian orang Islam menuntut haknya lebih dibandingkan dengan warga negara lain,” imbuhnya.
Baca Juga: Peringatan Satu Abad NU Bukan Sekedar Kumpul-kumpul, Sekjen PBNU: Kita Mengharap Keberkahan Raksasa
Cara-cara seperti ini, lanjut dia, memang sangat kuat hidup di dalam NU, dan dapat juga dilihat bahwa eksklusivisme dan ektremisme beragama cenderung kecil di NU.
“Rembesan atau infiltrasi terhadap warga NU terkait dengan eksklusivisme maupun ektremisme beragama itu cenderung lebih kecil dibandingkan dengan kelompok lain.”
“Tapi kita tidak boleh lengah, karena itu bahkan NU ini memiliki panggilan untuk tidak hanya mempertahankan warga NU, tetapi juga berkontribusi terhadap warga Indonesia,” ujar dia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.