JAKARTA, KOMPAS.TV- Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar khawatir masyarakat akan semakin susah mengakses kamar rawat inap, saat Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) diterapkan. Pasalnya, rumah sakit harus menyediakan kamar rawat inap maksimal berisi 4 tempat tidur. Hal itu diatur dalam Perpres 59/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kemudian, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 tahun 2021 ada ketentuan prosentase tempat tidur yang harus disediakan rumah sakit untuk KRIS. Yaitu 40 persen untuk BPJS Kesehatan dan 60 persen untuk umum, serta 60 persen untuk BPJS Kesehatan dan 40 persen untuk umum di rumah sakit pemerintah.
Sementara saat ini, seluruh kamar yang dimiliki RS bisa diakses pasien JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sesuai kelas kepesertaannya. Tapi dengan kondisi itu, masih ada pasien yang sulit mendapat kamar.
“Persoalannya bagaimana peserta bisa mengakses lebih mudah (dapat kamar). Sekarang saja ada oknum rumah sakit yang masih membatasi peserta JKN. Kamarnya kosong dibilang penuh, kan peserta enggak tahu apa betul penuh sehingga dia harus cari sendiri,” kata Timboel saat berdialog dengan presenter Kompas TV Mysister Tarigan di program BTalk, Selasa (21/5/2024).
Baca Juga: Baru 30 Persen RS Swasta yang Siap Terapkan KRIS, Asosiasi: Kami Senang kalau Ada Insentif
Apalagi, lanjut Timboel, jika nanti kamar untuk peserta JKN ditetapkan 40 persen dan 60 persen. Jika kuota itu terpenuhi, maka RS tak bisa menyediakan kamar untuk peserta JKN lagi karena yang tersisa hanya kamar untuk umum. Pasien akan terpaksa memilih rawat inap dengan biaya sendiri atau mencari rumah sakit yang lain.
“Alasannya, karena pasien JKN itu dibayar pakai INA-CBG’s yang pasti lebih rendah dari fee for service. Dan pasien BPJS itu, kalau dia pulang baru diklaim. Nah kalau pasien umum, dengan fee for service, dia pulang uang cash masuk,” lanjutnya.
Sebagai informasi, Indonesia Case Based Groups atau INA-CBG’s standar tarif untuk pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional. Tarifnya tentu berbeda dengan tarif pasien umum atau asuransi swasta.
“Dengan PP 47/2021 itu membatasinya terlegitimasi oleh regulasi. Bisa saja pihak rumah sakit bilang “Kan dari 100 bed kami disyaratkan 40 persen, boleh dong kami kasih 50 persen dan yang sisa 50 persen lagi kami kasih ke umum,” tutur Timboel.
Baca Juga: Siap-Siap, Taspen Salurkan Gaji ke-13 Pensiunan PNS, TNI, Polri Mulai 3 Juni
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi menyatakan, saat ini baru sekitar 30 persen rumah sakit swasta yang siap mengikuti program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan. Lantaran kondisi keuangan tiap RS swasta berbeda-beda.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.