Antara lain dengan penggunaan teknologi informasi untuk memantau pembelian BBM bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time untuk memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak.
"Yang pertama, program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi di SPBU. Hasilnya semakin banyak SPBU yang terkoneksi dengan sistem digitalisasi Pertamina, sehingga memudahkan monitoring dan pengawasan," jelas Nicke.
Kedua, Pertamina mengembangkan sistem peringatan atau alert system yang mengirimkan exception signal yang dimonitor langsung oleh command center Pertamina dan ditindaklanjuti oleh tim di lapangan.
Baca Juga: Jokowi: Pembangunan Jalan Tol Enggak Ada Apa-apanya Dibanding Jalan Desa
Exception signal mengirimkan data transaksi tidak wajar, di antaranya pengisian solar di atas 200 liter untuk satu kendaraan bermotor pada hari yang sama, pengisian BBM bersubsidi dengan tidak memasukkan nomor polisi kendaraan, dan lain sebagainya.
Sejak pengimplementasian exception signal pada 1 Agustus 2022 hingga 31 Desember 2023, Pertamina telah berhasil mengurangi risiko penyalahgunaan BBM bersubsidi senilai 200 juta dolar AS atau sekitar Rp3,04 trilliun.
Ketiga, Pertamina terus meningkatkan kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan kegiatan penyalahgunaan BBM bersubsidi yang tidak sesuai peruntukannya.
Baca Juga: Jokowi soal BLT El Nino Rp400.000: Memang BLT Khusus, Tidak Semuanya Dapat
Keempat, Pertamina mendorong masyarakat mendaftar Program Subsidi Tepat via website untuk mengidentifikasi konsumen yang berhak dan memonitor konsumsi JBT Solar dan JBKP Pertalite.
Nicke menambahkan, Pertamina juga terus melakukan efisiensi biaya operasional, baik di tingkat Holding maupun Subholding.
Sampai dengan November 2023, kata dia, realisasi program efisiensi biaya di Pertamina Group telah mencapai 984,17 juta dolar AS atau sekitar Rp14,99 triliun.
Sumber : KOMPAS TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.