Pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dikembalikan ke Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Artinya, JHT bisa cair tanpa menunggu usia 56 tahun.
Pekerja yang ter-PHK maupun mengundurkan diri tetap dapat klaim JHT sebelum usia pensiun.
Ida mengatakan sedang memproses revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Keputusan ini muncul setelah Ida menerima instruksi dari Presiden Jokowi untuk mengubah Permenaker baru itu setelah mengundang gelombang penolakan dan protes dari kalangan pekerja.
"Kami terus melakukan serap aspirasi bersama Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta secara intens berkomunikasi dengan Kementerian/Lembaga" tegas Ida seperti dikutip Detik.com.
Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 menyebutkan bahwa manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa diambil saat pekerja memasuki pensiun atau di usia 56 tahun. Ini yang mengundang penolakan kalangan pekerja.
Permenaker 2/2022 itu baru akan diberlakukan bulan Mei. Maka pekerja yang ingin melakukan klaim JHT dapat menggunakan acuan aturan lama, Permenaker 19/2015, termasuk bagi yang terkena-PHK atau mengundurkan diri.
Baca juga:
Tak hanya ditolak kalangan pekerja, sebelumnya kalangan pengamat menilai Permenaker Nomor 2 itu sebagai "kebijakan yang otoriter" dan "seharusnya diubah".
"Menurut perspektif saya dan dari kajian hukum perburuhan, ini adalah kebijakan yang otoriter. Karena [JHT] ini terkait dengan kepentingan pekerja dan tidak terkait langsung dengan pemerintah. Tapi kemudian pemerintah melakukan kebijakan tersebut," kata Hadi Subhan, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga kepada BBC News Indonesia (13/2).
"Itu kan uangnya para pekerja sendiri. Memang ada uang perusahaan, tetapi kan tidak ada uang pemerintah sama sekali. Kenapa kemudian harus ditahan lebih lama? Ada kepentingan apa?" lanjutnya.
Pada aturan sebelumnya, JHT bisa dicairkan peserta dengan masa tunggu 1 bulan sejak mengundurkan diri dari tempat pekerjaannya.
Subhan lalu menyarankan sebaiknya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 itu diubah.
"Jadi yang perlu diubah adalah ketika dia belum berusia 56 tahun tetapi dia terkena PHK bukan karena meninggal dunia atau karena cacat maka JHT sebaiknya tetap harus bisa diambil oleh pekerja," ujar Hadi.
Pengubahan aturan itu, menurutnya tidak akan merugikan pemerintah.
"Kalau tidak ada hidden agenda atau vested interest, tentu tidak ada masalah sama sekali kalau peraturan ini diubah. Tidak ada kerugian sama sekali dari pemerintah, tidak ada beban sama sekali dari pemerintah ketika permenaker ini diubah seperti permenaker sebelumnya,"
Hadi mengingatkan bahwa JHT ini pada hakikatnya tabungan milik pekerja. Ini sangat berguna bagi pekerja yang selama ini menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan saat belum berusia 56 tahun tetapi terkena PHK, baik karena perusahaan tutup atau karena pekerja itu melakukan kesalahan.
"Kan bisa jadi orang mengundurkan diri dari pekerjaannya sebelum usia 56 tahun tapi beralih menjadi wirausaha. Bagaimana mungkin JHT-nya tidak bisa dicairkan? Saya kira ini kebijakan yang otoriter," ujarnya.
Usulan pengubahan aturan itu pun didukung oleh Herry M (50) seorang pekerja di suatu pabrik di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Menurutnya, aturan itu harus dicabut karena dipandang merugikan.
Herry mengaku sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan selama 21 tahun dan enam tahun lagi memasuki masa pensiun.
Namun dia mengaku khawatir dengan kebijakan bahwa JHT di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan seluruhnya saat usia pensiun. Apalagi di tengah kondisi tidak menentu selama pandemi ini.
"Kalau saya bekerja sampai full umur 56 tahun, no problem bisa saya langsung cairkan. Yang jadi masalah, kalau tiba-tiba di tengah jalan kita kena rasionalisasi, entah pensiun dini atau PHK atau pensiun dini. Kalau itu terjadi, berarti saya harus menunggu selama enam tahun."
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.