KOMPAS.TV - Sebagai negara agraris Indonesia terus mengembangkan modernisasi di sektor pertanian dan perkebunan.
Peningkatan sumber daya manusia menjadi fokus utama pemerintah karena sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yakni menyediakan pangan untuk seluruh rakyat, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menaikkan ekspor.
Petani Indonesia dengan seluruh pemangku kepentingan dituntut mampu meningkatkan produksinya melalui peningkatan produktivitas dan indeks pertanaman, juga memperbaiki kualitas, menekan ongkos produksi pertanian nasional.
Oleh karena itu, di masa kini petani harus bertransformasi selaras dengan kemajuan teknologi dan inovasi pengetahuan.
Menurut Kementerian Pertanian (Kementan), tanpa SDM yang andal, mustahil tujuan pembangunan pertanian nasional akan tercapai.
Agar pertanian maju, hal utama dan pertama yang harus ditingkatkan adalah SDM-nya, salah satunya dengan mentransformasi peran petani sebagai peneliti pertanian.
Transformasi ini juga guna memenuhi rasio jumlah kebutuhan dan ketersediaan generasi penerus petani saat ini, serta meningkatkan kolaborasi petani modern dan petani konvensional dalam memaksimalkan kapasitas produksi.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian Dedi Nursyamsi mengatakan, petani masa kini harus cerdas sehingga mampu bertani dengan cara-cara yang cerdas pula agar produktivitas bisa digenjot bahkan ongkos produksi bisa ditekan.
“Yang dituntut dari petani adalah bagaimana mengimplementasikan inovasi teknologi. Di saat yang sama, tentu saja jangan hanya puas di produksi, tetapi juga di bagian pengolahan,” tutur Dedi.
Data Badan Pusat Statistik Tahun 2022 menyebutkan, kurang lebih terdapat 33 juta Petani Indonesia. Dalam jumlah tersebut, 70 persen petani berusia 45 tahun ke atas yang sebagian besar lulusan sekolah dasar. Selebihnya, sebanyak 30 persen merupakan petani milenial lulusan perguruan tinggi.
Baca Juga: Kementerian Pertanian Lakukan Antisipasi Dampak El Nino di Indonesia
Kondisi ini menjadi salah satu tantangan pemerintah, tetapi tidak menghalangi pertanian Indonesia untuk maju dalam pengetahuan dan teknologi.
Dedi menambahkan, kontribusi SDM terhadap peningkatan produktivitas pertanian sebesar 50 persen. Menurut Dedi, sesungguhnya pembangunan pertanian harus dimulai dari SDM seperti di sejumlah negara maju misalnya Tiongkok, Jepang, Korea, serta negara-negara di Eropa dan Amerika.
“Jadi, pembangunan pertanian bukan dari pupuk atau benih menurut saya. Kalau SDM-nya bagus, dengan sendirinya akan menggenjot produktivitas bahkan dapat memikirkan inovasi-inovasi baru,” tutur Dedi.
Selangkah demi selangkah, kini petani bertransformasi dalam peran, citra, maupun kinerjanya. Petani Indonesia harus punya tujuan lebih besar, tidak hanya sekadar menyejahterakan keluarga, tetapi juga membangun sistem pertanian.
Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Benny Pasaribu meyakini bahwa petani Indonesia sejatinya cerdas karena para nenek moyang yang belajar dari pengalaman.
Menurut Benny, yang menjadi masalah adalah image kurangnya kesejahteraan petani sehingga tak jarang dari para petani sendiri berjuang menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi agar tidak menjadi petani.
Akibatnya, generasi pintar harus keluar dari pertanian sehingga SDM berkompetensi tinggi dalam bidang pertanian menjadi terbatas.
Salah satu cara pemerintah memacu petani untuk semakin berinovasi dalam pengetahuan dan teknologi yaitu melalui kehadiran Pertanian Cerdas Iklim Climate Smart Agriculture - SIMURP.
Program Kementerian Pertanian ini bertujuan memacu cara kerja petani agar lebih modern dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman serta meningkatkan pendapatan menuju ketahanan pangan berkelanjutan.
“Jadi, Climate Smart Agriculture adalah pertanian yang mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri menghadapi perubahan iklim yang tidak bisa dicegah,” kata Dedi.
Demi percepatan modernisasi di bidang pertanian untuk menciptakan para petani peneliti perguruan tinggi juga ikut berperan penting dalam menyebarkan ilmu pengetahuan.
Sinergi ini selaras dengan keinginan para petani yang terus ini menyesuaikan diri beradaptasi pada sistem pertanian modern.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB (Institut Pertanian Bogor) Dwi Andreas mengatakan, para petani sesungguhnya memiliki kemampuan lebih di luar yang non-awam pikirkan.
Petani Peneliti Pengukur Curah Hujan
Gairah petani untuk berinovasi dan beradaptasi dalam sistem pertanian modern ditunjukkan oleh sekelompok petani peneliti yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (P2TPI) di Indramayu, Jawa Barat.
Sejak 2009, P2TPI rutin mengukur dan mencatat curah hujan setiap pagi, untuk menentukan strategi tanam di tengah perubahan cuaca yang makin tidak menentu.
Setelah belasan tahun, kini mereka sudah mampu menganalisis secara mandiri data yang mereka catat dan kumpulkan setiap hari. Hasilnya, berbagai cuaca ekstrem berhasil dilalui tanpa harus mengalami kegagalan panen bahkan mampu meningkatkan produktivitas.
Chondra, salah satu petani di Indramayu mengukur curah hujan menggunakan pena, penggaris, sebilah bambu, dan buku tulis. Kegiatan pengukuran tersebut berlangsung antara pukul 6.30 sampai 7.30 pagi.
Data curah hujan setiap harinya dikumpulkan oleh petani dengan cara yang sederhana, berpatokan dengan angka yang telah disepakati sebagai besaran curah hujan. Data tersebut nantinya digabungkan dengan data lain seperti ekosistem, tanaman, dan lahan.
“Kalau angka menunjukkan 1 sampai 2 berarti gerimis. Tapi kalau 3 sampai 7 itu hujannya ringan, dari 7 sampai 12 itu sedang. Nah, 12 sampai ke-20 itu besar, dan 20 ke 25 itu lebat. Kalau di atas 25 sampai 100 kita berpatokan hujannya lebat sekali,” kata Chondra.
Selain Chondra, lebih dari 100 petani yang menjelma menjadi petani peneliti pengukur curah hujan dan tergabung dalam P2TPI yang tersebar di seluruh kabupaten Indramayu.
Di balik kemandirian para petani pengukur curah hujan, ada sosok berjasa yang membuat metode ini menjadi andalan guna memperkuat sistem pertanian Kabupaten Indramayu, yaitu Prof. Dr. Yunita Triwardani Winarto, profesor emeritus antropologi Universitas Indonesia.
Yunita menginisiasi dan terus mendampingi para petani peneliti tersebut hingga saat ini. Menurutnya, metode yang digunakan adalah partisipatoris atau belajar bersama-sama dengan memposisikan petani sebagai peneliti.
“Jadi, saya ‘kan hanya sebagai pendamping dan menjadikan mereka sebagai pengamat. Setelah mereka pelajari sebelumnya, langsung praktik mengukur curah hujan sesuai metode yang sudah disetujui pakar,” tuturnya.
Yunita ingin agar pengumpulan data curah hujan bisa menjadi budaya yang nantinya bisa sebagai acuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian nasional.
Bagi Yunita yang merupakan seorang antropolog, mengubah tradisi lisan berupa mengingat dan mencatat hasil panen menjadi mencatat data termasuk perubahan budaya yang signifikan. Yunita menambahkan, melalui data tertulis membuatnya jadi bisa disimak kapan saja.
Transformasi kelompok petani menjadi peneliti ini dengan harapan mampu mengurangi risiko gagal panen akibat cuaca ekstrem yang tidak terduga.
Sejak mempelajari ilmu Agrometeorologi pada 2009 lalu, data yang dikumpulkan menjadi patokan dan rujukan untuk memutuskan kapan mulai menanam, mengantisipasi hama, penyakit kekeringan, maupun banjir di masa yang akan datang.
Baca Juga: Petani Peneliti Tingkatkan Kemandirian Pertanian | Oase Indonesia
Keberadaan petani pengukur hujan menjadi investasi berharga jangka panjang dalam memperkuat Pertanian Kabupaten Indramayu yang dikenal sebagai lumbung padi nasional.
Kabupaten Indramayu mampu memproduksi padi sebanyak 1,49 juta ton pada 2022 dan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indramayu sebesar 19,58 persen.
Para petani pengukur hujan ikut menyumbangkan produksi padi dengan menghasilkan 4 ton dalam sekali panen dari sebelumnya 2,8 ton dan bisa menjamin dua kali panen padi dalam setahun tanpa gagal.
Petani Kopi Gambut Berdaya Saing
Alih fungsi lahan memberi andil besar terhadap perubahan iklim di bumi ini. Oleh karena itu pengendalian perubahan iklim mutlak dilakukan oleh semua pihak.
Provinsi Jambi mengambil bagian mengendalikan perubahan iklim dengan pemulihan hutan dan mempertahankan lahan gambut.
Petani yang bertransformasi menjadi peneliti dengan inovasi yang memberikan dampak besar bagi perekonomian nasional dan kemandirian pertanian tidak hanya ada di Indramayu.
Jambi juga memiliki para petani cerdas akan inovasi ilmu pengetahuan yang mengubah lahan gambut menjadi produk ekonomi bernilai tinggi.
Di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kecamatan Betara, Provinsi Jambi para petani meneliti pemanfaatan lahan gambut.
Penanaman kopi tungkal liberika komposit dilakukan sebagai upaya mempertahankan lahan sekaligus menyejahterakan petani sekitar.
Muhammad Jamiludin selaku salah satu petani kopi liberika mengatakan, alasan menanam liberika karena hama penggerek buah sangat cepat berkembang di lahan gambut terutama di cuaca panas.
Sementara itu, jenis kopi lain yang dulunya pernah ditanam mengalami gagal panen akibat hama penggerek. Kopi liberika yang memiliki buah besar dan cangkang keras berhasil bertahan dari serangan hama.
Inovasi kopi dari lahan gambut ini awalnya tidak mudah diterima masyarakat karena memiliki rasa yang tidak biasa dan berbeda dari kopi pada umumnya.
Namun, para petani mencari solusi dengan terus mengembangkan inovasi pengetahuan dan teknologi, agar kopi lahan gambut bisa disukai semua kalangan.
Jamaludin memaparkan, adanya rasa tanah yang mengganggu disebabkan pada proses penjemuran yang kurang tepat.
“Ketika penjemuran dilakukan menempel di tanah, akan terserap biji kopi. Setelah penelitian dan pelatihan oleh para ahli kopi sejak 2012, diinstruksikan cara menjemur kopi yang benar,” ujar Jamaludin.
Para petani kopi liberika Jambi tidak hanya mandiri dalam berinovasi, tetapi juga mandiri dalam memasarkan dan mengenalkan produknya melalui Koperasi Mekar Sejahtera Mandiri.
Menurut data Kementerian Pertanian, kopi liberika lahan gambut terbukti telah membantu ekonomi masyarakat sekitar. Pada 2013 penanaman dilakukan di 200 hektare lahan, sementara pada 2015 bertambah luasnya menjadi 500 hektare.
Pada 2021, lahan meningkat menjadi 2000 hektare, tetapi produktivitas kopi liberika menurun di masa pandemi yang tidak berdampak signifikan.
Pada 2022, produktivitas kopi liberika ini mencapai 1.149 ton pada tahun sebelumnya berada di angka 1.100 ton.
Para petani peneliti membawa dampak besar bagi perkembangan sektor pertanian Indonesia. Transformasi peran petani di masa modern ini menjadi solusi jangka panjang untuk membuat Indonesia sebagai salah satu negara agraris yang kuat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.