JAKARTA, KOMPAS.TV - Kabar KH Marzuki Mustamar dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menuai sorotan publik.
Kabar pencopotan jabatan Marzuki itu sempat dibenarkan oleh Mantan Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, KH Abdus Salam Shohib atau Gus Salam.
Menurutnya, pencopotan pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Malang itu terjadi setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar pertemuan di Surabaya, Rabu (27/12/2023).
Dalam pertemuan tersebut menyebut, pencopotan sebagaimana pernyataan Ketua Umum PBNU dalam forum.
"Statemen Ketum PBNU tadi malam di hadapan PCNU se-Jatim," kata Gus Salam. Kamis (28/12/2023), dikutip dari Kompas.com.
Pada 29 Desember 2023, Marzuki Mustamar kemudian menunjukkan surat pemberhentian dirinya sebagai Ketua PWNU Jatim.
Ia menunjukkan tiga lembar surat yang ditandatangani oleh empat pejabat PBNU di antaranya Rais Aam KH. Miftachul Akhyar, Katib Aam KH. Akhmad Said Asrori, Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf, dan Sekretaris Jenderal Drs. H. Saifullah Yusuf.
Baca Juga: Usai Dicopot dari Ketua PWNU Jatim, Pengamat: Massa NU Mungkin Ikut Kiai Marzuki yang Dukung AMIN
"Disitu (surat pemberhentian-red) disebut berdasarkan usulan jajaran syuriah Jawa Timur, yang mengusulkan agar Marzuki diberhentikan, maka PBNu menindaklanjuti itu tadi. Tidak disebutkan Syuriah PWNU mengusulkan saya diberhentikan karena apa, tidak disebut, sehingga kami enggak tahu," kata Marzuki di pondok pesantren Sabilurrosyad, Kota Malang, Kamis, (29/12/2023).
Terkait munculnya isu bahwa pemberhentian Kyai Marzuki Mustamar karena dukungan pada capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Kyai Marzuki menjelaskan bahwa dalam setiap ceramahnya dirinya bersikap netral sesuai arahan PBNU.
Surat tertanggal 16 Desember 2023 itu hanya menjelaskan 3 poin di antaranya tentang Perpanjangan Masa Khidmat dan Perubahan Susunan PWNU Jawa Timur Antar Waktu dengan disertai ucapan terima kasih atas pengabdiannya.
Poin kedua surat tersebut berisikan amanat kepada Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur untuk segera menindaklanjuti keputusan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Apabila dalam penetapannya terdapat perubahan dan/atau kekeliruan, Surat Keputusan ini akan ditinjau kembali,” bunyi poin ketiga dari surat keputusan PBNU.
Baca Juga: Tiga Poin Keputusan PBNU Terkait Pencopotan Marzuki Mustamar
Melansir laman pwnujatim.or.id, Kamis (4/1/2024), KH Marzuki Mustamar lahir di Blitar, 22 September 1966 dari orangtua Kyai Mustamar dan Nyai Siti Jainab.
Ia dikenal memiliki penampilan yang sederhana dan tidak pernah neko-neko. Karena begitu sederhananya, kadang orang tidak mengira bahwa beliau adalah seorang kyai.
Namun, di balik kesederhanaannya, tersimpan lautan ilmu yang begitu luas. Gaya bicara Marzuki yang tegas dan lugas menjadi salah satu ciri khas.
Sejak kecil, Marzuki dibesarkan dan dididik oleh kedua orang tua dengan disiplin ilmu yang tinggi, belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama.
Selain dididik disiplin ilmu yang tinggi, sejak kecil, ia juga dididik tentang kemandirian agar memiliki etos kerja yang tinggi dengan cara memelihara kambing dan ayam petelur.
Saat duduk di kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah sampai sebelum belajar di Malang, anak kedua dari delapan bersaudara ini mulai belajar ilmu nahwu, shorof, tasawuf dan ilmu fikih kepada Kyai Ridwan dan Kyai-Kyai lain di Blitar.
Sejak SMP, Marzuki diminta mengajar Al-Qur’an dan kitab-kitab kecil lainnya kepada anak-anak dan tetangga beliau.
Pada usia yang masih belia tersebut, beliau sudah mengkhatamkan dan faham kitab Mutammimah pada saat kelas 3 SMP.
Baca Juga: Marzuki Mustamar Buka Suara Usai Kabar Dicopot PBNU dari Jabatan Ketua PWNU Jatim
Selepas dari SMP Hasanuddin, ia melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tlogo Blitar. Marzuki muda merupakan sosok pemuda yang beruntung sebab sudah mendalami ilmu agama ke beberapa orang kiai di Blitar, seperti Kiai Hamzaj, Kiai Abdul Mudjib dan Kiai Hasbullah Ridwan.
Setamat dari MAN Tlogo pada tahun 1985, Marzuki melanjutkan jenjang pendidikan formalnya di IAIN (sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim) Malang, yang waktu itu masih merupakan cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Untuk menambah ilmu agama, ia yang juga Anggota Komisi Fatwa MUI Kota Malang ini nyantri kepada KH A Masduki Machfudz di Pondok Pesantren Nurul Huda Mergosono.
Mengetahui kecerdasan dan keilmuan Marzuki yang di atas rata-rata santrinya yang lain, akhirnya Kiai Masduki memberi amanah kepada Marzuki untuk membantu mengajar di pesantrennya, meskipun saat itu Marzuki masih berusia 19 tahun.
“Saat itu saya diminta untuk mengajar kitab Fathul Qorib bab buyuu’ (jual-beli),” Kenang kyai yang juga Dosen Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini.
Pada tahun 1994, KH Marzuqi Mustamar memulai hidup baru dengan menikahi salah seorang santriwati Pondok Nurul Huda yang bernama Saidah.
Sang istri merupakan putri Kyai Ahmad Nur yang berasal dari Lamongan. Dengan Saidah, Marzuki memiki 7 anak.
Baca Juga: Ketua PWNU Jatim Marzuki Mustamar Dicopot, Cak Imin: Yang Rugi PBNU
Selang satu bulan setelah menikah, Marzuki bersama istri mencoba mengadu nasib ke daerah Gasek, Kecamatan Sukun, Kabupaten Malang.
Di rumah barunya di Gasek itulah, Marzuki mendapat banyak santri hingga berkembang menjadi pesantren Sabilurrosyad.
Selain sibuk membimbing para santri, ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Bahasa Arab Universitas Islam Malang.
KH Marzuki Mustamar juga aktif di berbagai organisasi keagamaan di antara sebagai Ketua Tanfidiyah PCNU Kota Malang dan anggota Komisi Fatwa MUI Kota Malang.
Kedalaman ilmunya sangat dirasakan oleh umat. Sebagai contoh Marzuki menyusun sebuah kitab, tentang dasar-dasar atau dalil-dalil amaliyah yang dilakukan oleh warga Nahdhiyyin.
Bahkan, Kiai Baidhowi, Ketua MUI Kota Malang memberi julukan “Hujjatu NU” kepada Marzuki.
“Kalau Imam al-Ghozali dikenal sebagai Hujjatul Islam, maka Kyai Marzuki ini Hujjatu NU” Demikian pernyataan Kiai Baidhowi dalam beberapa kesempatan.
Pendidikan Formal Kiai y
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.