JAKARTA, KOMPAS.TV - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, dan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (23/10/2023).
Koordinator TPDI, Erick Samuel Paat, mengatakan bahwa laporan tersebut berkaitan dengan dugaan tidak pidana kolusi dan nepotisme.
"Tadi kami melaporkan dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme kepada pimpinan KPK yang diduga dilakukan oleh Presiden RI kita Joko Widodo dengan Ketua MK Anwar, juga Gibran dan Kaesang dan lain-lain," jelas Erick, Senin.
KPK telah menerima laporan tersebut dengan nomor informasi 2023-A-04294 yang ditandatangani oleh Maria Josephine Wak.
Erick menyatakan, pihaknya melaporkan Presiden Jokowi serta Gibran, putra sulung Jokowi, atas putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Baca Juga: Ketum Parpol Koalisi Indonesia Maju Kumpul di Rumah Prabowo Malam Ini, Disebut Pilih Cawapres Gibran
Erick menyebut bahwa pihaknya menilai putusan MK tersebut mengindikasikan adanya konflik kepentingan karena jabatan Ketua MK kini sedang diduduki oleh Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi.
Menurut dia, dalam gugatan bernomor 90/PU-XII/2023 tentang batas usia capres-cawapres yang dikabulkan oleh hakim MK ini tercantum nama Gibran. Selain itu, ada juga gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kini diketuai oleh putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep.
"Kaitannya bahwa Presiden dengan Anwar itu ipar, kita tahu ya karena (Anwar Usman) menikah dengan adiknya Presiden. Nah kemudian, Gibran anaknya (Jokowi)," tuturnya.
Erick menyebut, hakim MK harus mengundurkan diri apabila ada gugatan yang pemohonnya memiliki hubungan keluarga.
"Tapi kenapa Ketua MK tetap membiarkan dirinya tetap menjadi Ketua Majelis Hakim? Nah, ini ada keterkaitannya dengan kedudukan Presiden Jokowi yang menjadi salah satu pihak yang harus hadir dalam persidangan ini," tegasnya.
Baca Juga: KPU Tegaskan Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres Bersifat Final dan Mengikat
Ia pun menduga adanya unsur kesengajaan dan pembiaran dalam penanganan perkara gugatan batas usia capres-cawapres ini. Sehingga, ia menilai bahwa hal tersebut diduga kuat tindakan nepotisme antara para terlapor.
"Nah, ini yang kami lihat kolusi dan nepotismenya antara Ketua MK sebagai Ketua Majelis Hakim, dengan Presiden Jokowi, dengan keponakannya Gibran, dan keponakannya Kaesang," ujarnya, dilansir dari Kompas.com.
Sebelumnya, MK menyatakan mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggugat batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu.
Perkara itu diajukan mahasiswa asal Kota Solo bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan UUD 1945.
"Mengadili. Satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Dua, menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 610) yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,'" kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan di gedung MK, Senin (16/10/2023).
"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah,'" kata Anwar.
Anwar mengungkapkan, ada empat hakim yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion.
"Terdapat pula pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo," katanya.
Sumber : Kompas TV/Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.