KIEV, KOMPAS.TV - Ukraina mengakui pasukan Rusia justru merangsek maju dan mendesak pasukan Ukraina di empat daerah garis depan di Ukraina timur dalam "pertempuran sengit," kata Wakil Menteri Pertahanan Ukraina Hanna Maliar hari Minggu, (2/7/2023).
"Gelombang pertempuran sengit terjadi di mana-mana," tulis Hanna Maliar di media sosial, sambil menambahkan, "Kondisinya cukup rumit ini."
"Musuh malah merangsek maju di sektor Avdiivka, Mariinka, dan Lyman. Musuh juga maju di sektor Svatove," kata Maliar, yang mengungkapkan pasukan Ukraina maju dengan "kesuksesan sebagian" di sisi selatan Bakhmut, serta di dekat Berdyansk dan Melitopol di Ukraina selatan.
Di selatan, ia mengatakan pasukan Ukraina menghadapi "perlawanan musuh yang sengit, penempatan ranjau jarak jauh, penempatan pasukan cadangan" dan hanya maju "secara bertahap."
"Mereka secara gigih dan terus-menerus menciptakan kondisi untuk maju secepat mungkin," katanya.
Amerika Serikat sementara itu dilaporkan sedang mempertimbangkan untuk memberikan amunisi bom tandan kepada Ukraina.
Baca Juga: Zelenskyy Klaim 21.000 Anggota Wagner Terbunuh di Ukraina: Mereka Alami Kerugian Besar
Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Mark Milley, mengatakan AS sedang mempertimbangkan untuk mengirim amunisi tersebut "sejak lama." Ia mencatat pasukan Rusia menggunakannya di medan perang di Ukraina dan pasukan Ukraina telah menerima bom tandan dari sekutu lain dan sudah menggunakannya di garis depan.
Milley mengatakan di National Press Club bahwa pembahasan sedang berlangsung. "Ukraina sudah meminta itu, negara-negara Eropa lainnya sudah menyediakan sebagian dari itu (bom tandan), Rusia menggunakannya," kata Milley. "Proses pengambilan keputusan masih berlangsung."
Dia juga menepis kekhawatiran bahwa serangan balik Ukraina berjalan terlalu lambat. Milley mengatakan ia berpikir upaya serangan balik akan memakan waktu enam hingga sepuluh minggu. "Akan sangat sulit. Akan sangat lama," kata Milley. "Jangan ada seorang pun punya khayalan tentang hal itu."
Bom tandan adalah senjata yang terbuka di udara dan melepaskan subamunisi atau "bomber" yang tersebar di area luas dan dimaksudkan untuk menimbulkan kehancuran pada beberapa target sekaligus.
Bom tersebut dapat dihantarkan melalui pesawat, artileri, dan peluru kendali, menurut Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
"Bomber" tersebut memiliki tingkat kegagalan meledak yang tinggi, bahkan hingga 40% dalam beberapa konflik terakhir, menurut ICRC.
Para pendukung pelarangan bom tandan mengatakan bom tersebut membunuh secara sembarangan dan serampangan, membahayakan warga sipil lama setelah digunakan. Berbagai kelompok di dunia telah memperingatkan penggunaan bom tersebut oleh Rusia di Ukraina.
Baca Juga: Bom Tandan, Bom Curah yang Dilarang Penggunaannya tapi Ternyata Pernah Dibuat Indonesia
Belum jelas bagaimana sekutu NATO Amerika akan menanggapi pemberian bom tandan kepada Ukraina dan apakah masalah tersebut dapat memicu perpecahan dalam dukungan mereka yang sebagian besar bersatu untuk Kiev.
Lebih dari dua pertiga dari 30 negara dalam aliansi tersebut adalah pihak yang menandatangani konvensi 2010 tentang pelarangan penggunaan, produksi, atau penyimpanan bom tandan.
Amerika Serikat, Rusia, dan Ukraina tidak menandatangani larangan bom tandan.
Minggu lalu, Laura Cooper, wakil asisten menteri pertahanan urusan Rusia dan Ukraina, berbicara kepada Kongres bahwa Pentagon telah menilai bahwa amunisi tersebut akan membantu Kiev menembus posisi-posisi Rusia yang saat ini membentengi diri dengan sangat kuat.
Pertimbangan mengenai pemberian amunisi bom tandan kepada Ukraina terjadi ketika beberapa pejabat Amerika Serikat khawatir tentang lambannya serangan balik yang telah lama ditunggu-tunggu tersebut.
Meskipun kebanyakan pejabat Barat tidak akan mengatakan secara terbuka bahwa serangan balik Ukraina berjalan terlalu lambat, namun ada sentimen yang berkembang bahwa Ukraina perlu memanfaatkan cuaca, kondisi di medan, dan dampak yang mungkin timbul dari pemberontakan akhir pekan lalu terhadap kohesi militer Rusia untuk memperkuat kemajuan mereka.
Sumber : Straits Times / Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.