LIMA, KOMPAS.TV - Tumpahan minyak akibat gelombang tsunami Tonga merusak keanekaragaman hayati perairan Peru. Menanggapi kejadian ini, nelayan Peru pun berdemo di penyulingan minyak, Selasa (18/1/2022).
Penyulingan itu, La Pampilla, dikelola oleh perusahaan multinasional Repsol dan terletak di daerah Callao yang berbatasan langsung dengan ibu kota Peru, Lima.
Para nelayan membentangkan spanduk yang bertuliskan antara lain “tolak kejahatan ekologis” dan “Repsol pembunuh fauna laut”.
Mereka menuntut bertemu petinggi perusahaan, tetapi tidak ditemui. Perusahaan ini pun menolak berkomentar saat dimintai keterangan Associated Press.
Baca Juga: Pemerintah Tonga Akhirnya Rilis Pernyataan, Konfirmasi 3 Kematian akibat Tsunami
Pemerintah Peru menyebut Repsol tidak menerapkan langkah-langkah yang diwajibkan untuk mencegah tumpahan minyak meluas.
Menurut Menteri Lingkungan Peru Ruben Ramirez, diperkirakan sekitar 6.000 barel minyak tumpah di perairan yang kaya dengan keanekaragaman hayati.
Tumpahan minyak berasal dari kapal tanker berbendera Italia yang berlayar pada Sabtu (15/1). Kapal yang menuju penyulingan La Pampilla itu diterjang ombak hasil tsunami Tonga sehingga menumpahkan muatan.
Sehari kemudian Repsol mengumumkan tumpahan minyak terjadi karena “ganasnya ombak”.
Erupsi gunung bawah laut Hunga Tonga-Hunga Ha'apai mengirimkan tsunami hingga pesisir Peru. Dua orang tewas tenggelam di negara ini akibat tsunami.
Pada Selasa (18/1), menurut pantauan Associated Press, pantai dekat fasilitas penyulingan diselimuti pasir hitam hasil tumpahan minyak. Ombak menggulung cairan hitam sekaligus bangkai-bangkai krustasea kecil.
Sekitar 50 pekerja dari perusahaan bawahan Repsol berupaya memindahkan pasir-pasir hitam itu dari pantai.
Juan Carlos Riveros, biolog Oceana Peru, organisasi yang fokus di isu perlindungan lingkungan kelautan, menyebut spesies paling terdampak tumpahan minyak adalah burung camar, burung guano, dara laut, singa laut, dan lumba-lumba.
“Tumpahan juga memengaruhi sumber utama nelayan tradisional, karena akses mereka ke area penangkapan ikan tradisional terhalang atau spesies yang mereka incar terkontaminasi atau mati,” kata Riveros.
“Dalam jangka pendek, ketidakpercayaan timbul atas kualitas hasil tangkapan, yang mana kemudian harga-harga (ikan) jatuh dan pemasukan berkurang,” imbuhnya.
Pemerintah Peru memperkirakan sekitar 18.000 meter persegi di pesisir terdampak tumpahan minyak.
Menurut pemerintah Peru, insiden ini disebabkan Repsol “tidak menerapkan kebijakan segera untuk mencegah kerusakan kumulatif atau lebih serius yang memengaruhi daratan, air, flora, fauna dan sumber daya hidrobiologis.”
Baca Juga: KKP Panggil Pertamina terkait Kasus Darurat Tumpahan Minyak di Aceh
Jose Llacuachaqui, seorang pemimpin nelayan, menyebut perusahaan sekadar membersihkan minyak dari pantai, tetapi tidak membersihkan perairan.
“Itu sama saja memangsa, membunuh seluruh telur dan seluruh spesies maritim,” kata Llacuachaqui.
Senada dengan Llacuachaqui, Roberto Espinoza, pemimpin nelayan lain, menyebut Repsol “membantai” biota laut Peru.
“Ini pembantaian terhadap seluruh keanekaragaman hayati hidrobiologis. Di tengah pandemi, laut memberi makan kami. Karena tak punya rencana pencegahan, mereka (Repsol) telah menghancurkan basis keanekaragaman hayati,” kata Espinoza.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.