TOKYO, KOMPAS.TV – Warga Jepang yang berhasil melarikan diri dari Korea Utara menggugat pemerintah Korea Utara karena telah berbohong hingga mengakibatkan mereka hidup menderita selama puluhan tahun.
Pada 1960-an, sekitar 97 ribu warga Jepang dijanjikan kehidupan ala 'surga di Bumi' di Korea Utara. Namun kenyataannya, mereka justru hidup dalam kelaparan, represi, dan kehilangan.
“Kami diberi tahu bahwa kami akan pergi ke 'surga di Bumi', bahwa kami akan memiliki apartemen sendiri, juga pekerjaan, dan bahwa rumah sakit dan sekolah gratis,” ujar Hiroko Saito yang kini berusia 80 tahun, seperti dilansir dari Deutsche Welle, Selasa (7/9/2021).
Janji ‘Surga di Bumi’
“Mereka (pemerintah Korea Utara) bilang, kami tidak perlu membawa apa-apa, karena semuanya akan disediakan,” terang Saito seraya mengimbuhkan, “Mereka terus mengatakan bahwa (Korea Utara) adalah surga.”
Pada 1950–1960an, sekitar 97 ribu etnis Korea yang tinggal di Jepang bersama pasangan mereka – banyak di antaranya adalah warga Jepang, dipaksa untuk kembali ke Korea Utara.
Chongryun, organisasi perwakilan warga Korea Utara di Jepang, berupaya meyakinkan, menekan sekaligus menjanjikan standar kehidupan yang jauh lebih baik bila mereka kembali ke tanah air Korea Utara.
Saito yang lahir tahun 1941, menikah dengan seorang putra imigran dari negara yang kemudian menjadi Korea Utara pasca Perang Dunia ke-2.
Pada 1961, perwakilan Chongryun mulai menekan keluarga suaminya untuk kembali ke Korea Utara. Saat mereka diiming-imingi gambar-gambar indah rumah hunian luas dan lengkap dengan furnitur dan perabotan modern, keluarga Saito pun mulai melunak. Apalagi, mereka juga dijanjikan dapat kembali ke Jepang apabila gagal menetap dalam waktu 3 tahun.
Saat kapal yang membawanya beserta ratusan warga lainnya merapat di pelabuhan di kota Chongjin di Korea Utara, Saito tersadar bahwa ia telah termakan tipu daya pemerintah negara itu.
Dari atas dek kapal, ia melihat seorang bocah lelaki dengan baju atasan yang compang-camping. Selain sehelai baju itu, si bocah yang tampak kurus dan kelaparan itu tak mengenakan apa-apa.
“Saat itulah saya tersadar. Saya tersadar bahwa kami telah teperdaya,” ujar Saito mengenang awal kehidupannya yang penuh penderitaan selama puluhan tahun. Apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terlambat.
Sejak itu, Saito dan keluarganya menjalani kehidupan yang tak sesuai dengan yang dijanjikan.
Sumber : Deutsche Welle
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.