Lalu, ia menyuruh bawahannya menegur pengurus Masjid Anyer agar mematuhi petunjuk Musyawarah Alim Ulama DKI.
Petunjuk yang terbit pada 22-23 September 1973 itu memperbolehkan penggunaan pengeras suara untuk azan dan pengumuman bersifat darurat.
Namun, Musyawarah Alim Ulama DKI menilai penggunaan pengeras suara untuk menyiarkan zikir, doa, dan pidato saat dini hari sebelum subuh adalah tindakan berlebihan.
Petunjuk itu muncul mempertimbangkan empat hal, dikutip dari Historia.
Baca Juga: Menjaga Toleransi - SAHUR TIME
Salah satu pertimbangan mereka merujuk Surat Al-Israa ayat 110 yang berbunyi, "Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu."
Musyawarah Alim Ulama juga mempertimbangkan kebutuhan suasana sunyi dan hening untuk ibadah, zikir, dan doa yang khusyuk.
Ada pula usulan agar warga baru bisa menggunakan pengeras suara 15 menit sebelum subuh di hari biasa dan 30 menit sebelum subuh di bulan Ramadhan.
Pengurus masjid juga dianjurkan melafalkan azan dengan sungguh-sungguh, fasih, dan merdu.
Di sisi lain, sebuah masjid di Kebon Jeruk, Jakarta malah mengharamkan penggunaan pengeras suara.
“Karena tidak ada pada zaman Nabi,” ujar A.M. Fatwa, koordinator Dakwah Islam Jakarta berdasarkan arsip Kompas edisi 12 Januari 1977.
Baca Juga: Cara Optimalkan Ibadah di Bulan Ramadan Menurut Quraish Shihab
Kafrawi M.A., Ketua Dirjen Bimas Islam masa itu juga ikut angkat suara soal pengeras suara.
"Boleh lantang saat azan untuk masjid-masjid di kota, tapi setelah itu cukup didengar jamaah dalam masjid," anjur Kafrawi dalam arsip Kompas edisi 30 Mei 1978.
Ia menekankan penggunaan pengeras suara hanya untuk azan agar mengurangi antipati pada Islam.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.