JAKARTA, KOMPAS.TV- Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyampaikan, hingga saat ini pemerintah sudah mengeluarkan 6 kebijakan terkait minyak goreng. Namun, belum ada satu pun yang efektif menurunkan harga dan menjamin pasokan minyak goreng di pasaran.
Kebijakan itu adalah kebijakan satu harga minyak goreng Rp14.000 per liter di ritel modern, kemudian kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) minyak goreng.
Lalu ada juga penetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter.
"Faktanya di lapangan masih ada pembatasan stok, dari distribusi ke agen, dari agen ke ritel. Nah kenapa sampai ada pembatasan pasokan?" kata Yeka dalam konferensi pers virtual, Selasa (22/2/2022).
Baca Juga: Temuan Baru Ombudsman: Minyak Goreng Dipasok untuk Hotel hingga Konsumen Dipaksa Jadi Member
Padahal, pemerintah sudah mengatur dari sisi hulu dengan kebijakan DMO-DPO dan dari sisi hilir dengan HET. Kemudian di bagian distribusi ada Satgas Pangan yang kini mulai gencar melakukan sidak.
Yeka menilai, pengusaha dan pedagang minyak goreng kini melihat peluang, akan ada kebijakan baru lainnya dari pemerintah. Pasalnya, sudah ada 6 regulasi tadi tapi belum ada yang berhasil. Sehingga sangat mungkin akan ada perubahan aturan lagi.
Selanjutnya, Ombudsman juga menemukan adanya kaitan dengan antara respon masyarakat membeli minyak goreng di tempat yang berbeda, dengan ketersediaan pasokan.
Yeka menjelaskan, Ombudsman melakukan survei di 311 toko yang menjual minyak goreng di 34 provinsi seluruh Indonesia. Yaitu terdiri dari 46 pasar modern (berada di dalam mall atau pusat perbelanjaan), 55 pasar tradisional, 105 ritel modern, dan 105 ritel tradisional (toko kelontong atau warung).
Baca Juga: Dijemput Polisi, Pelaku Penipuan Minyak Goreng Murah Teriak & Menangis
"Hasilnya, 46 persen pasar tradisional patuh terhadap HET, 12 persen pasar tradisional patuh terhadap HET, 57 persen ritel modern patuh terhadap HET, dan hanya 10 persen ritel tradisional patuh terhadap HET," ungkap Yeka.
Namun karena mengikuti HET, stok minyak goreng di pasar modern dan ritel modern lebih cepat habis.
"Itu karena pasar modern dan ritel modern lebih mudah diintervensi, dibanding yang tradisonal," ucap Yeka.
Ia juga mencurigai produsen minyak goreng memprioritaskan konsumen perusahaan besar, seperti restoran cepat saji McDonald dan KFC. Karena faktanya sampai saat ini tidak ada gangguan pasokan untuk operasional mereka.
Baca Juga: Polda Sumut: 1,1 Juta Kilogram Minyak Goreng yang Ditimbun Akan Disalurkan
"Konsimen perusahaan bisa kasih harga tinggi (ke produsen minyak), sehingga relatif enggak ada masalah. Tapi di masyarakat masih langka," ujar Yeka.
Ombudsman juga menemukan adanya pasokan minyak goreng yang disimpan di gudang, tidak ditampilkan di etalase. Temuan tersebut akan diteruskan ke Satgas Pangan.
"Apakah penyimpanan pasokan itu berujung pada penimbunan, itu yang harus dicari tahu lebih lanjut," tambahnya.
Baca Juga: AS Rilis Daftar Penjual Barang Palsu, Ada Bukalapak, Tokopedia, Shopee
Selain itu, ada juga temuan penyusupan pasokan minyak goreng dari ritel modern ke pasar tradisional, bukan dijual langsung ke konsumen. Serta dari agen langsung ke pasar tradisional, bukannya ke ritel modern.
Praktik bundling atau harus membeli produk lain jika ingin membeli minyak goreng, juga terjadi. Contohnya di Provinsi Maluku dan Yogyakarta.
"Ada juga yang di toko fisik nya habis, tapi di e-commerce nya ada. Padahal toko yang sama," tandas dia.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.