"Hasilnya, 46 persen pasar tradisional patuh terhadap HET, 12 persen pasar tradisional patuh terhadap HET, 57 persen ritel modern patuh terhadap HET, dan hanya 10 persen ritel tradisional patuh terhadap HET," ungkap Yeka.
Namun karena mengikuti HET, stok minyak goreng di pasar modern dan ritel modern lebih cepat habis.
"Itu karena pasar modern dan ritel modern lebih mudah diintervensi, dibanding yang tradisonal," ucap Yeka.
Ia juga mencurigai produsen minyak goreng memprioritaskan konsumen perusahaan besar, seperti restoran cepat saji McDonald dan KFC. Karena faktanya sampai saat ini tidak ada gangguan pasokan untuk operasional mereka.
Baca Juga: Polda Sumut: 1,1 Juta Kilogram Minyak Goreng yang Ditimbun Akan Disalurkan
"Konsimen perusahaan bisa kasih harga tinggi (ke produsen minyak), sehingga relatif enggak ada masalah. Tapi di masyarakat masih langka," ujar Yeka.
Ombudsman juga menemukan adanya pasokan minyak goreng yang disimpan di gudang, tidak ditampilkan di etalase. Temuan tersebut akan diteruskan ke Satgas Pangan.
"Apakah penyimpanan pasokan itu berujung pada penimbunan, itu yang harus dicari tahu lebih lanjut," tambahnya.
Baca Juga: AS Rilis Daftar Penjual Barang Palsu, Ada Bukalapak, Tokopedia, Shopee
Selain itu, ada juga temuan penyusupan pasokan minyak goreng dari ritel modern ke pasar tradisional, bukan dijual langsung ke konsumen. Serta dari agen langsung ke pasar tradisional, bukannya ke ritel modern.
Praktik bundling atau harus membeli produk lain jika ingin membeli minyak goreng, juga terjadi. Contohnya di Provinsi Maluku dan Yogyakarta.
"Ada juga yang di toko fisik nya habis, tapi di e-commerce nya ada. Padahal toko yang sama," tandas dia.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.