"Lagipula katanya kan uang jemaah aman, uang kami ditabung dan dari tabungan itu ada biaya bagi hasil, apa enggak cukup untuk menutupi (selisih biaya) kami yang (keberangkatannya) tertunda ini?" kata Ulfah.
Hal serupa juga disampaikan oleh calon jemaah haji asal Sumatra Barat lainnya, Irsih Yeni, 53, yang mengatakan kenaikan biaya itu terasa memberatkan bagi dia dan suaminya.
Yeni juga merupakan calon jemaah haji yang seharusnya berangkat pada 2020 lalu. Namun, lantaran keinginannya untuk berkunjung ke Tanah Suci telah begitu kuat, Yeni mengatakan mau tidak mau akan mengusahakan mencari biaya tambahan.
"Secara ekonomi memang memberatkan, tapi niat kami sudah pengen ke sana, jadi bagaimana pun kami usahakan," kata dia.
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama, Subhan Cholid, mengatakan ada empat komponen yang membuat pemerintah mengusulkan kenaikan biaya haji menjadi Rp45 juta.
Pertama, nilai kurs Rupiah terhadap Dollar yang meningkat dari sekitar Rp13.750 per US$1 menjadi kisaran Rp14.300 sampai Rp14.500 per US$1 belakangan ini.
Kedua, Arab Saudi menerapkan pajak sebesar 15% terhadap seluruh jemaah haji pada 2022 ini, sedangkan pada 2019 lalu nilai pajaknya hanya 5%.
Ketiga, yang paling berkontribusi signifikan, yakni biaya protokol kesehatan. Subhan mengatakan setiap jemaah haji harus menjalani lima hari karantina di Arab Saudi, kemudian lima hari karantina di Indonesia, serta tes PCR setidaknya enam kali.
"Tapi (karantina) ini menjadi sesuatu yang dinamis, kalau nanti saat biaya (haji) dibahas (di DPR) ternyata Arab Saudi memutuskan tidak ada karantina, Indonesia juga tidak ada karantina, ini tentu akan jadi komponen yang sangat besar efisiensinya," tutur Subhan.
Komponen biaya keempat yang juga naik adalah biaya visa dan Smart Card yang berkisar 300 Riyal (Rp1,1 juta) pada 2019, kini menjadi 403 Riyal (Rp1,5 juta) pada 2022.
Subhan mengakui bahwa kenaikan biaya ini dapat memberatkan calon jemaah haji, tetapi menurut dia kenaikan komponen tersebut perlu disampaikan dan diperhitungkan.
Baca juga:
Pemerintah dan DPR masih memiliki waktu 60 hari untuk membahas komponen biaya tersebut sebelum menetapkan tarif haji tahun ini.
Di antaranya, seberapa besar yang akan dibebankan kepada jemaah, juga apakah imbal balik dari dana investasi haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPHK) dapat mengalokasikan dana untuk selisih kenaikannya.
"Kami akan mendengar seluas-luasnya usulan masyarakat. Kami paham betul kondisi (pandemi) ini, tapi kalau kita hilangkan biaya protokol kesehatan, tapi masing-masing negara masih menerapkan lalu siapa yang menanggung? (Jemaah) tidak bisa berangkat. Itu yang perlu dibahas," kata dia.
Ketua Komisi Nasional Haji dan Umroh, Mustolih Siradj, mengatakan pemerintah dan DPR semestinya mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat di masa pandemi ini sebelum memutuskan kenaikan biaya haji yang signifikan.
"Kita lihat karakteristik masyarakat yang pendaftar tidak semua mampu dan berlebihan. Ada juga yang sudah puluhan tahun nabung atau dia menjual asetnya untuk bisa menunaikan haji," kata Mustolih.
Namun di sisi lain, apabila pemerintah menerapkan biaya haji serupa dengan sebelum pandemi, hal itu pun akan berisiko menekan keuangan haji.
Sebab selama ini, calon jemaah haji hanya membayar setengah dari biaya pelaksanaan haji yang sesungguhnya. Misalnya pada 2019 lalu, biaya haji per jemaah ialah Rp35,2 juta, namun biaya sesungguhnya adalah Rp70 juta.
Selisih biaya tersebut selama ini disubsidi menggunakan dana investasi haji yang dikelola oleh BPKH.
Tetapi menurut Mustolih, banyak masyarakat tidak menyadari bahwa biaya keberangkatan haji mereka telah disubsidi oleh pemerintah sehingga kenaikan biaya mencapai Rp10 juta akan dirasa sangat memberatkan.
Dia menyarankan agar pemerintah tetap menaikkan biaya haji secara bertahap untuk menjaga keseimbangan pengelolaannya, tapi dilakukan secara bertahap agar tidak terasa mengejutkan bagi calon jemaah haji.
"Kenaikannya tidak harus sampai 45 juta, tapi bertahap dengan melihat kemampuan jemaah dan kondisi sosial-ekonomi saat ini, tapi tidak terus-terusan membebani keuangan haji. Misalnya rate-nya 3-4 juta," jelas dia.
Dengan masa tunggu haji yang mencapai belasan tahun hingga puluhan tahun di Indonesia, setiap orang yang hendak mengambil slot harus menyetor dana sebesar Rp25 juta.
Dana dari calon jemaah haji yang ada dalam masa tunggu itu lah yang kemudian dikelola oleh BPKH untuk diinvestasikan. Hingga 2021 lalu, akumulasi dana yang dikelola oleh BPKH telah mencapai Rp158,88 triliun.
Mustolih Siradj mengatakan dana itu diinvestasikan oleh BPKH ke berbagai instrumen investasi baik bank maupun nonbank. Hasil investasi itu yang kemudian digunakan mensubsidi biaya penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun.
Subsidi tersebut menurut Mustolih berpotensi menjadi bom waktu yang terus tergerus akibat pandemi, sekaligus risiko investasi di tengah situasi ekonomi yang tak pasti akibat pandemi.
"Dulu konsepnya ketika uangnya dikelola dengan benar dan memberikan hasil dengan berbagai macam skema investasi, ketika masyarakat menunggu keberangkatan tidak keluar uang lagi (untuk membayar selisih)," kata Mustolih.
"Tapi cita-cita itu belum benar-benar terealisasi karena imbal hasil setiap jemaah itu hanya maksimal 200 ribu per tahun. Itu karena sebagian biayanya dilarikan untuk mensubsidi penyelenggaraan haji yang berjalan," lanjut dia.
Subsidi dana haji yang dilakukan terus menerus, dia sebut 'tidak sehat' dan 'dapat menekan pengelolaan keuangan haji'. Oleh sebab itu, kenaikan biaya haji akibat komponen yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah Indonesia pun menjadi tidak terhindarkan demi menjaga keseimbangan tersebut.
Pengamat haji dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Dadi Darmadi juga menyarankan BPKH 'memutar otak' untuk mendapatkan keuntungan lebih.
"Saya kira masuk akal biaya haji akan semakin mahal, BPKH harus bisa memutar otak bagaimana mendapatkan keuntungan lagi, karena selama ini jemaah kita hanya membayarkan setengah dari biaya sebenarnya," kata dia.
Meski telah mulai memperhitungkan biaya, Kementerian Agama menyatakan sejauh ini belum ada kepastian dari Arab Saudi terkait penyelenggaraan haji.
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama, Subhan Cholid, menuturkan pihaknya terus berkomunikasi dengan Saudi agar negara itu kembali membuka akses haji untuk jemaah Indonesia.
Sebab, sudah dua tahun berturut-turut jemaah haji Indonesia gagal berangkat sehingga masa tunggu pun menjadi lebih lama.
"Kami masih menunggu kepastian itu, tapi kami akan mulai menyiapkan beberapa skenario tergantung kuota yang akan dibuka oleh Saudi nantinya," kata Subhan.
Sementara itu, calon jemaah haji seperti Irsi Yeni mengaku telah lelah menunggu kepastian. Koper yang sudah dia kemas untuk berangkat haji pada 2020 lalu, sampai saat ini masih siaga menanti keberangkatan.
"Koper itu enggak saya keluarin, biar kalau mau berangkat tinggal berangkat. Mungkin baju yang putih sudah jadi kuning di situ, tapi pokoknya kami ingin berangkat, sebesar itulah harapan kami," kata Yeni.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.