KOMPAS.TV – Indonesia menjadi tempat bertemu suku dan bahasa yang berbeda-beda. Selama 76 tahun, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu” menghidupi dan dihidupi manusia Indonesia dengan latar belakang sosial-budaya yang beragam.
NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat misalnya, memiliki kelompok populasi paling banyak berasal dari Melanesia. Corak genetik yang sama juga ditemukan di negara-negara Pasifik, seperti Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan lainnya.
Indonesia telah lama menjadi rumah bagi percampuran berbagai etnis, dilatarbelakangi oleh sejarah peradaban yang kaya. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Peneliti Senior dari Eijkman Research Center for Moleculal Biology (RCMB), Profesor Herawati Sudoyo.
“Indonesia, negara yang beragam yang mewakili lebih dari 500 populasi etnis, lebih dari 700 bahasa. Sebagian besar bahasanya termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, sedangkan bahasa orang Papua digunakan di Indonesia timur,” kata Herawati dalam We-Talkshow The Series bertema “Common Heritage, Shared Future: Culture and Genetics Shaping Indonesia and The Pacific” yang tayang di Youtube Kompas TV, Selasa (12/10/2021).
Persebaran ini dipengaruhi oleh beberapa gelombang migrasi yang dilakukan nenek moyang Indonesia. Gelombang pertama berasal dari Afrika 100.000 tahun yang lalu, di mana nenek moyang Indonesia bermigrasi ke Eropa, Asia Tengah, dan datang melalui kepulauan Indonesia menuju benua Sahul (benua Australia—Papua saat masih satu daratan).
“Mereka melewati tanah Sunda, Kalimantan, Sumatra, dan Jawa masih bersama,” jelasnya.
Sementara itu, gelombang kedua migrasi berasal dari Asia Tengah, sekitar 30.000 tahun yang lalu.
Gelombang ketiga berasal dari Taiwan yang melewati bagian Utara New Guinea, melompati pulau ke pulau hingga Oceania.
Gelombang keempat berasal dari jalur perdagangan seperti China, India, Arab, dan jalur rempah.
Herawati menjelaskan, Papua menjadi unsur terpenting dari beberapa peristiwa percampuran, khususnya pada populasi Pasifik.
“Apabila kita melihat campuran gen di Indonesia antara populasi yang berbahasa Austronesia dengan populasi yang berbahasa non-Austronesia, tidak ada yang memiliki 100 persen latar belakang gen asli. Artinya, pasti selalu ada campuran pada komponennya. Selain itu, kita dapat menemukan hubungan pada gen orang Indonesia dan Pasifik, yang mana contohnya sebagaian latar belakang genetik orang di dangkalan Sunda juga ditemukan pada orang di Pasifik,” terangnya.
Tantangan kompleksitas budaya
Staf Ahli Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Tri Tharyat menjelaskan, jika ditelusuri dari rentang 1920 – 1940, gagasan penyatuan Indonesia mengeampingkan perbedaan, agama, warna kulit, suku, bahasa, geografi, dan budaya.
Indonesia adalah bangsa yang menyambut berbagai etnis, ras, dan agama, untuk bersatu ke dalam Republik Indonesia. Warisan bersama dan penerimaan perbedaan ini merupakan karakter bangsa Indonesia.
Kendati demikian, kompleksitas dalam budaya dan peradaban manusia Indonesia juga memunculkan konsekuensi dan kadang kala nada sumbang, bagaimana masyarakat dengan keragaman seperti itu dari berbagai agama, suku, bahasa asli, geografi, budaya, dan makanan dapat berbaur menjadi satu bangsa?
Bagaimana memastikan Indonesia memberikan hak setara kepada masyarakat Papua, terkait berbagai indikator mengenai hubungan antar ras, kebebasan berpendapat, dan juga kesejahteraan?
Baca Juga: KTM UNCTAD Ke-15: Pandangan, Dampak, dan Tindak Lanjut Indonesia
Sejatinya, melalui status Otonomi Khusus (Otsus) yang diatur dalam UU 21/2001, Pemerintah Indonesia telah memberikan hak afirmasi khusus dan kebebasan bagi Orang Asli Papua (OAP) untuk mengatur wilayahnya sendiri.
Lewat dana otsus yang telah digelontorkan sejak 2002 untuk Papua dan Papua Barat, Pemri memastikan OAP untuk mendapatkan hak atas kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, menjadi pemimpin utama dalam pemerintahan, ketenagakerjaan, layanan pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.
Dana Otsus memberikan sumbangan yang besar bagi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Papua, yakni mencapai 60 persen dari APBD Papua.
Staf Khusus Presiden RI yang juga merupakan pendiri Yayasan Kitong Bisa, Billy Mambrasar mengatakan, total dana otsus yang dialirkan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat mencapai sekitar Rp 138,65 triliun dalam kurun 20 tahun.
Jumlah ini belum termasuk dengan Rp 702,3 triliun dari program Dana Desa dan pendanaan dari Kementerian sekitar Rp 251 triliun rupiah, Rp 85 triliun untuk Papua dan 41,87 persennya untuk Papua Barat.
“Tapi dana itu bukan poin penting utama. Intinya lebih menekankan pada hak bagi OAP untuk berpartisipasi dalam pembangunan, bukan hanya menjadi objek pembangunan, tapi mereka akan menjadi subyek pembangunan,” jelas Billy.
Selain itu, masih ada agenda pemekaran wilayah Papua yang melibatkan aspirasi dari Majelis Rakyat Papua.
“Banyak narasi yang bicara bahwa Otsus Papua adalah kegagalan. Tetapi sebagai Staf Khusus Presiden, saya diberi tugas khusus untuk fokus pada pendidikan, literasi, dan pemuda. Saya ingin melihat perspektif anak muda,” imbuhnya.
Lebih jauh, Billy mengaku telah mengunjungi 17 provinsi dan 22 kota di Indonesia untuk bertemu dengan 6.300 pemuda dan berbicara mengenai perspektif mereka tentang otsus.
Hal ini dilakukan mengingat pendidikan menerima porsi paling besar dari dana otsus, yakni 30 persen. Artinya, anak muda menjadi kelompok paling banyak menerima manfaat dana otsus.
“Jika otsus telah diberlakukan pada 2001, itu berarti, 30 persen uang itu telah membuat ribuan anak muda memperoleh pendidikan dan melakukan hal-hal besar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Saya menjadi salah satu yang menyelesaikan gelar sarjana dengan kebijakan otsus,” ungkapnya.
Billy juga melakukan penelitian pada 550 Generasi Milenial untuk mendengarkan pandangan mereka tentang otonomi khusus. Hasilnya, sebanyak 51 persen mengatakan bahwa otsus tidak sukses dan tidak juga gagal.
“Kita hanya perlu melakukan lebih baik dengan itu,” lanjutnya. Untuk itu, ia menyarankan revisi otsus sebagai jalan tengah terbaik bagi Indonesia, khususnya OAP.
“Ada 96.000 anak muda yang siap membangun Papua dan menjadi bagian pemerintahan Indonesia. Kita harus meningkatkan akuntabilitas jalannya otsus dan kapasitas pemerintah daerah. Selain itu, harus ada payung hukum yang mengakomodasi partisipasi anak muda Papua, mungkin bisa melalui badan khusus atau bekerja bersama pemerintah setempat,” tegasnya.
Memahami multikulturalisme Indonesia
Tak hanya Billy Mambrasar, peneliti dan penulis buku “Ibu Murni in Bali and Ibu Yembise in Papua: Strong Woman, Strong Role Models in Eastern Indonesia – Comparison and Possibilities” Robert Goodfellow juga menekankan pentingnya bagi Indonesia mendengarkan suara masyarakat Papua dan memahami nilai-nilai mereka.
“Saya pikir salah satu cara terbaik untuk mempromosikan pemahaman dan apresiasi budaya yang berbeda adalah dengan mendengarkan aspirasi dari masyarakat. Pandangan tentang budaya dan nilai-nilai komunal penting untuk kita pahami bersama.” tuturnya.
Ketika orang-orang di seluruh dunia berpikir tentang Indonesia, lanjut Robert, seharusnya mereka berpikir tentang banyak orang, budaya, etnis, dan berbagai nilai sebagai satu halaman bersama.
Ia mengambil contoh sosok Profesor Dr. Yohana Susana Yembise, mantan Menteri yang berasal dari Papua. Sebagai perempuan Papua pertama yang diangkat sebagai guru besar, Yembise merupakan tokoh penting dengan nilai yang kuat.
Baca Juga: Konferensi Ke-15 UNCTAD Hasilkan Bridgetown Covenant
Dalam pertanyaan mengenai Bali, orang-orang dapat langsung memahami bahwa Bali merupakan wajah pariwisata yang paling dikenal di dunia.
“Masyarakat mengerti apa nilai-nilai Bali tentang upacara, keramahan, komunitas. Di seberang timur Indonesia kita juga mengenal Prof Yembise. Tapi apakah kita benar-benar memahami nilai dirinya dan masyarakat Papua?” ujar Robert.
Robert menegaskan, masyarakat perlu memahami nilai Papua seperti memahami nilai Bali dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu caranya adalah dengan merayakan dan lebih memahami kontribusi Prof Yembise untuk Papua dan Indonesia.
“Salah satu rekomendasi saya adalah untuk meneliti lebih lanjut nilai yang telah dilakukan ibu Yembise dan menunjukkannya kepada dunia. Dengan demikian, orang lebih memahami peran dan kontribusi orang Papua dalam kerangka Indonesia yang multietnis,” tambahnya.
Dalam pernyataan penutupnya, Robert menjelaskan budaya seperti halnya makanan Indonesia yang beragam. Cara orang menyiapkan makanan terus berubah, begitu pula budaya.
Seperti makanan, masyarakat harus selalu belajar dan mengadopsi ide-ide baru. Tapi sebelum melakukan itu, masyarakat Indonesia perlu lebih memahami dan saling berbagi pengalaman.
Orang Papua memahami nilai-nilai mereka. Robert menilai, jika orang-orang Indonesia non-Papua memahami nilai-nilai yang diadopsi OAP, akan timbul rasa saling menghormati yang memudahkan masing-masing melalui proses belajar dan pertukaran nilai.
Dalam kesempatan itu, Robert juga menyampaikan persetujuannya terhadap apa yang disampaikan Billy Mambrasar, bahwa penting untuk mendengarkan suara OAP dan melibatkan anak muda Papua dalam pembangunan.
“Hanya dari mendengarkan Mas Billy, saya bisa mendengar salah satu nilainya, bahwa penting untuk mendengarkan orang Papua, bahwa pemuda Papua ingin didengarkan dan ingin dianggap serius. Mengutip pernyataan Presiden RI, ‘Saya ingin mendengarkan suara rakyat, dan saya bersedia membuka dialog untuk Papua yang lebih baik. Orang Papua tidak hanya memerlukan akses pendidikan, kesehatan, atau pembangunan jembatan dan jalan—mereka juga perlu didengarkan,” pungkasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.