JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyebut, anak anggota Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) yang menganiaya pacar hingga tewas, Gregorius Ronald Tannur (GRT), patut dijerat dengan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana.
Menurut Reza, Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan Pasal 338 KUHP terhadap Gregorius yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian Dini Sera Afrianti (DSA).
Reza mengamati, rangkaian kronologi perilaku kekerasan yang dilakukan GRT kepada korban DSA sangat bengis dan bereskalasi.
"Dari sebatas tangan kosong ke penggunaan alat yang tidak perlu dimanipulasi (botol), dan berlanjut ke penggunaan alat yang perlu dimanipulasi (mobil)," kata Reza, Sabtu (7/10/2023).
Ia menyebut, berdasarkan urutan kronologis tersebut, terindikasi bahwa perilaku kekerasan GRT bereskalasi. Mulai dari menyasar organ tubuh bagian bawah (kaki) ke organ tubuh bagian atas (kepala).
Baca Juga: Polisi akan Lakukan Tes Urine terhadap Anak Anggota DPR yang Aniaya Pacar hingga Tewas
Reza menilai, eskalasi kekerasan sedemikian rupa, ditambah lagi karena tidak ada yang meleset dari organ vital korban serta terdapat jeda antara menabrak dan episode kekerasan sebelumnya, mengindikasikan GRT sebenarnya berada dalam tingkat kesadaran yang memadai baginya untuk meredam atau bahkan menghentikan perbuatannya.
Akan tetapi, kata Reza, alih-alih menghentikan tindakannya, dalam kondisi kesadaran tersebut, GRT justru menaikkan intensitas kekerasan terhadap korban.
Reza menerangkan, hal itu menandakan, GRT sengaja tidak memfungsikan kontrol dirinya untuk menahan atau bahkan menghentikan serangan.
"Tapi justru memfungsikan kontrol dirinya untuk meneruskan dan bahkan memperberat perilaku kekerasannya," ungkap Reza.
Kemudian, lanjut dia, dengan kondisi kesadaran dan aktivasi kontrol sedemikian rupa, patut diduga bahwa GRT pun mampu untuk sampai pada pemikiran bahwa ia akan melakukan perbuatan yang dapat menewaskan korban.
Dengan kata lain, Reza menilai, pada waktu itu GRT sudah memiliki pemikiran atau imajinasi tentang kematian korban.
"Pada momen ketika pemikiran atau imajinasi kematian DSA itu muncul dalam benak GRT, maka dapat ditafsirkan lengkap alur perbuatan GRT di mana perilaku kekerasan bereskalasi dan disertai dengan imajinasi tentang kematian sasaran," terangnya.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.