BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.TV - Mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa, terpidana kasus suap, mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Mustafa merupakan terpidana kasus suap kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung Tengah atas izin pinjaman kepada PT Sarana Multi Infrastruktur.
Proses awal pengajuan PK tersebut adalah pemeriksaan kelengkapan berkas di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Kamis (5/10/2023).
M Yunus selaku kuasa hukum Mustafa meminta agar vonis yang dijatuhkan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di PN Tanjungkarang dibatalkan.
Alasannya, karena pada perkara terebut kliennya dijatuhi dua vonis hukuman untuk kasus yang sama.
"Pada intinya kami mencantumkan dua poin, yang pertama yakni terkait nebis in idem. Di mana pada peristiwa yang sama Mustafa mendapat dua putusan,” tuturnya, dikutip dari laporan jurnalis Kompas TV Lampung, Roma Afria Idham.
Kedua vonis yang dimaksud adalah vonis dari majelsi hakim PN Jakarta Pusat dan PN Tanjungkarang.
“Ya pada pokoknya kita minta putusan dari PN Tanjungkarang dibatalkan, karena sudah ada putusan dari PN Jakarta Pusat sebelumnya," tegasnya.
Baca Juga: Jenazah Mahasiswi Lampung yang Meninggal Dunia di Yogyakarta Tiba di Rumah Duka
Yunus menyebut permohonan tersebut sesuai dengan hasil telaah berdasarkan Pasal 263 Ayat (2) KUHAP.
Seharusnya, kata dia, satu perkara yang sama tidak boleh diidangkan sebanyak dua kali, dan tidak boleh ada dua putusan atau vonis terhadap satu perkara yang sama.
“Kita berpendapat ada keadaan baru, yaitu semestinya perkara yang kedua ini nebis, karena sudah ada putusannya meskipun deliknya berbeda.”
“Selain itu pada PK ini kami juga menyoal disparitas di uang pengganti. Ada perlakuan berbeda terhadap perkara Mustafa dimana uang pengganti yang dijatuhkan tidak sesuai dengan subsidairnya," kata Yunus.
Menanggapi hal itu, jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufik Ibnugroho selaku pihak termohon dalam permohonan PK ini menyebut ada dua perkara berbeda pada kaus yang menjerat Mustafa.
Maka secara umum, kata dia, putusan dari kedua pengadilan itu telah sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda.
"Kami belum bisa mengomentari lebih jauh, karena kan kami belum menerima berkasnya, belum dimulai persidangannya. Tetapi kalau terkait nebis in idem, dua perkara itu jelas berbeda lokus dan tempusnya," tandasnya.
Pada perkara yang menjeratnya di tahun 2018 lalu, hakim PN Jakarta Pusat menyatakan Mustafa terbukti bersalah telah suap kepada beberapa oknum Anggota DPRD Lampung Tengah.
Suap itu dilakukan dalam rangka mendapat tanda tangan persetujuan pengajuan pinjaman daerah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur, dengan jumlah sebesar Rp300 miliar.
Hakim pun menjatuhkan vonis pidana penjara selama tiga tahun, denda Rp100 juta subsidair 3 bulan kurungan. Serta dikenakan pencabutan hak dipilih dalam jabatan politik selama 2 tahun, sejak dirinya selesai menjalani pidana.
Sementara hakim PN Tanjungkarang, menjatuhkan vonis pidana penjara selama 4 tahun, denda Rp300 juta subsidair 3 bulan kurungan penjara.
Baca Juga: Merasa Diintimidasi saat Konflik Lahan, Ratusan Petani di Lampung Gelar Unjuk Rasa
Hakim juga mewajibkan Mustafa membayar uang pengganti senilai Rp17.140.997.000 subsidair dua tahun kurungan.
Ia juga harus menjalani pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun, terhitung sejak dirinya selesai menjalani pidana pokoknya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.