JAKARTA, KOMPAS.TV - Piala Dunia 1950 akan selalu lekat dengan "Maracanazo" atau tragedi Maracana saat Timnas Brasil kalah di babak final dari Uruguay.
Namun, di balik kesedihan rakyat Brasil saat itu, ada sosok yang dijadikan kambing hitam. Ia adalah sang penjaga gawang, Moacir Barbosa. Usai final di Maracana itu, hidup Barbosa tak lagi sama, dicap biang kekalahan oleh seluruh rakyat Brasil sampai ajal menjemput.
Kisah tentang ‘kambing hitam’ di Piala Dunia memang marak dijumpai. Ambil contoh David Beckham di Piala Dunia 1998.
Kala itu, Beckham mendapatkan kartu merah usai menekel Diego Simeone di babak perempat final. Keesokan harinya, harian Inggris Daily Mail memasang halaman muka: ‘Ten Heroic Lions, One Stupid Boy’ atau 10 singa heroik dan satu bocah bodoh.
Baca Juga: Piala Dunia 1994 - Kesengsaraan Roberto Baggio di Rose Bowl
Beckham beruntung dapat menebus dan mengubah citranya menjadi seorang penyelamat. Dirinya dimaafkan karena membawa Inggris ke Piala Dunia 2002 lewat gol tendangan bebas menit akhir kontra Yunani.
Namun, Barbosa tidak seberuntung Beckham.
Baca Juga: Kilas Balik Piala Dunia: Kala Sportivitas Korea Selatan Membuat Pemain Turki Meneteskan Air Mata
Piala Dunia 1950 digelar di Brasil. Bukan hanya sebagai tuan rumah, Brasil juga kandidat paling kuat untuk mendapatkan trofi Jules Rimet.
Di final round (saat itu memakai format round-robin atau mencari poin terbanyak jadi juara), Brasil menggilas Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1.
Wajar apabila melihat tingkah warga Brasil saat itu yang sudah menyiapkan panggung-panggung perayaan juara. Harian-harian olahraga pagi Brasil juga dipenuhi dengan judul halaman muka 'Estes Sao os Campoes' atau 'Inilah para kampiun'.
Bahkan, sekitar 200 ribu suporter di dalam Maracana tidak khawatir walau skor 1-1 menjadi hasil pada paruh pertama laga final tersebut.
Namun, Alcides Ghiggia membungkam Maracana pada menit 81. Sepakannya dari sudut sempit, tak sanggup dibendung Barbosa. Skor 2-1 untuk kemenangan Uruguay bertahan. Ini bukan hasil yang seharusnya terjadi.
Kesunyian Maracana kala itu perlahan menerkam Barbosa.
Entah bagaimana awal mulanya, Barbosa bisa dicap sebagai "kambing hitam" kekalahan Brasil. Padahal, Brasil bermain dengan 10 pemain lainnya, warga Brasil hanya menyalahkan Barbosa.
Tahun demi tahun terlewati, tetapi Barbosa tak pernah dimaafkan.
Mengutip tulisan Eduardo Galeano dalam bukunya yang berjudul "El Futbol a sol y Sombra" (Soccer in Sun and Shadow), Barbosa sempat mencoba mengunjungi dan mendoakan para pemain Brasil jelang sebuah laga Kualifikasi Piala Dunia 1994.
Dia mendatangi tempat latihan para juniornya tersebut. Tetapi, Barbosa diusir oleh sang pelatih, Mario Zagallo. Zagallo tidak ingin skuadnya dinaungi nasib sial yang dibawa Barbosa.
“Pada momen pengusiran itu, Barbosa adalah pria ringkih yang bisa tidur di bawah atap hanya berkat kebaikan sang adik ipar, dan menikmati uang pensiun tak seberapa dari negara,” tulis Galeano.
Hingga jelang tutup usia, Barbosa tak kunjung mendapatkan jawaban mengapa ia terus disalahkan rakyat Brasil. Teresa, karib Barbosa, memberi kesaksian, “Dia bahkan menangis di bahuku dan hingga kematiannya ia selalu berkata: ‘Aku tak bersalah. Ada 11 orang di dalam tim.’”
Baca Juga: Piala Dunia 2022: Mengingat Kisah Korea Utara Bungkam Italia di Inggris
Imbas pengucilan Barbosa tidak berhenti. Orang Brasil meyakini bahwa "kambing hitam" paling tepat adalah yang berbulu hitam. Kiper berkulit hitam tidak pernah dipakai hingga ada sosok Dida pada 1999.
Lima kali Brasil menjadi juara Piala Dunia, lima kali pula kiper mereka berkulit putih. Gilmar pada 1958 dan 1962, Felix Mieli di Piala DUnia 1970, Claudio Taffarel pada 1994, dan Marcos di Piala Dunia 2002.
Moacir Barbosa Nascimento meninggal pada 7 April tahun 2022, tanpa pernah tahu jawaban mengapa dirinya disalahkan selama nyaris 50 tahun oleh Tanah Airnya sendiri.
Baca Juga: Hector Castro, "Dewa Bertangan Satu" yang Berhasil Membawa Uruguay Juara Piala Dunia Pertama 1930
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.