JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerhati Anak dan Pendidikan Retno Listyarti menolak istilah "persetubuhan" yang digunakan polisi dalam kasus pemerkosaan remaja 15 tahun oleh 11 orang di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Retno menyebut, polisi ingin mengatakan bahwa kasus ini terjadi karena ada persetujuan pelaku dengan korban atau adanya rasa saling suka.
"Ini yang sebenarnya tidak, harusnya tidak tepat," tegas Retno di program Kompas Petang, Kompas TV, Rabu (31/5/2023).
Ia menjelaskan, meski anak dianggap setuju oleh pelaku untuk melakukan aktivitas seksual, hal itu tetap merupakan tindak pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76d Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
"Sangat jelas ya, persetubuhan terhadap anak itu tindak pidana, mau dilakukan dengan cara, dengan berbagai istilah pun, kalau terjadi penetrasi, kan perkosaan itu prinsipnya terjadi penetrasi juga," jelasnya.
Semua modus pelaku, baik memberikan iming-iming atau bujuk rayu terhadap korban, kata dia, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 76d UU Perlindungan Anak.
Sekalipun pelaku dalam kasus ini adalah orang yang seumuran dengan korban, kata Retno, tindakan itu tetap merupakan pidana seksual atau kejahatan seksual anak.
Baca Juga: Polisi Kembali Tangkap 2 Tersangka Pemerkosaan terhadap Remaja 15 Tahun di Sulteng, 3 Masih Buron
"Bilang aja bahwa kejahatan seksual terhadap anak terjadi dalam kasus ini, dengan jumlah pelaku mencapai 11 orang," saran Retno kepada polisi.
Retno juga mengaku lebih menganggap peristiwa ini sebagai eksploitasi seksual terhadap anak.
Pasalnya, anak yang kini berusia 16 tahun itu bekerja di sebuah warung yang melakukan layanan prostitusi.
Ia menduga ada relasi kuasa yang menjerat korban, salah satunya dari pemberi kerja.
Sebelumnya, melalui konferensi pers, Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho mengungkapkan bahwa istilah pemerkosaan dalam kasus ini tidak tepat.
Ia menjelaskan, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan yang memaksa korban untuk bersetubuh di luar hubungan perkawinan.
"Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, atau pengancaman terhadap korban," jelas Kapolda Sulteng.
Baca Juga: Remaja Korban Pemerkosaan oleh 11 Pelaku di Sulteng Segera Operasi Pengangkatan Rahim
Modus yang digunakan pelaku, kata dia, bukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, dan iming-iming akan diberikan sejumlah uang atau barang.
Ia mengatakan, kasus ini terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023 dan dilakukan oleh 11 pelaku di tempat yang berbeda-beda dan waktu yang berbeda-beda.
"Dilakukan secara sendiri-sendiri, tidak bersamaan oleh 11 pelaku ini," terangnya.
"Oleh karenanya saya berharap, selesai kegiatan press conference ini, kita tidak lagi menggunakan istilah pemerkosaan atau pun rudapaksa agar masyarakat tidak bingung di dalam memahami perkara ini," imbuhnya.
Kini polisi telah menangkap 7 dari 11 terduga pelaku kejahatan seksual terhadap anak di Sulteng ini.
Korban mengaku diperkosa 11 pelaku yang terdiri dari beragam profesi, termasuk kepala desa, guru, polisi, dan mahasiswa.
Lima tersangka yang telah ditahan, yakni HR (43) yang merupakan kepala desa, ARH (40) yang merupakan guru sekolah dasar, AK (47) wiraswasta, AR alias R (26) petani, dan MT alias E (36) pengangguran.
Hari ini, Rabu (31/5/2023), polisi kembali menangkap dua orang pelaku yang terdiri dari FN (22) mahasiswa dan KA (32) yang bekerja sebagai petani.
Sementara itu, tiga pelaku, yakni AW, AS, dan AK hingga kini masih buron. Irjen Agus Nugroho pun mengimbau ketiganya untuk segera menyerahkan diri agar pengungkapan kasus ini segera tuntas.
"Kami mengimbau kepada 3 tersangka yang masih buron ini untuk dapat menyerahkan diri kepada kami," ujarnya.
Kemudian, satu pelaku lain yang merupakan polisi atau anggota Brimob kini sedang dalam pemeriksaan.
Para tersangka dijerat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara.
Sebagaimana diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, seorang anak perempuan di bawah umur di Sulteng disetubuhi oleh 11 orang di tempat dan pada waktu yang berbeda-beda sejak April 2022 hingga Januari 2023.
Korban yang saat kejadian masih berusia 15 tahun itu kini mengalami trauma dan dan gangguan reproduksi hingga mengharuskannya menjalani operasi pengangkatan rahim.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.