JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Totok Dwi Diantoro menyebut politik transaksional sebagai penyebab sejumlah kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi.
Totok menjelaskan, korupsi oleh pejabat publik, termasuk kepala daerah, merupakan konsekuensi dari politik transaksional yang memuat kebutuhan untuk mengembalikan ongkos politik yang sudah dikeluarkan sebelumnya, sekaligus membiayai pemenangan pada pemilu kali ini.
"Tentu saja juga diiringi dengan moral hazard memburu rente," ujarnya, Sabtu (15/4/2023), dilansir Kompas.id.
Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Wali Kota Bandung Yana Mulyana dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (14/4/2023).
KPK lantas menetapkan Yana sebagai tersangka kasus dugaan korupsi suap dan penerimaan gratifikasi pengadaan CCTV dan penyedia jasa internet untuk proyek "Bandung Smart City" tahun anggaran 2022-2023.
Baca Juga: Gegara Terima Suap Wali Kota Bandung Yana Mulyana jadi Lebaran di Rutan KPK
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menerangkan, salah satu kesepakatan dalam kasus gratifikasi Wali Kota Bandung itu ialah mengubah termin pembayaran kontrak pekerjaan ISP senilai Rp2,5 miliar dan pemberian uang persiapan menyambut Lebaran 2023.
Totok melihat, korupsi Yana untuk kebutuhan Lebaran tak lepas dari upayanya untuk memperkuat relasi dengan konstituen.
Korupsi politik semacam itu, kata dia, dikhawatirkan mengakibatkan kebijakan yang diambil kepala daerah cenderung merugikan kepentingan publik.
Menurut Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, pihaknya akan mendalami apakah Yana menerima suap untuk keperluan pemenangan Pilkada 2024 atau tidak.
Ali mengungkapkan, dalam OTT itu, KPK menyita uang senilai ratusan juta rupiah. Selain itu, disita sejumlah uang dolar Singapura, dolar Amerika Serikat (AS), baht Thailand, ringgit Malaysia, dan yen Jepang. KPK juga menyita sepasang sepatu kets merek Louis Vuitton.
Baca Juga: Kronologi Kasus Korupsi Wali Kota Bandung Yana Mulyana, Berawal dari Agustus 2022
Yana ditangkap bersama delapan orang lainnya yang terdiri dari pihak pemerintah serta swasta. Enam dari sembilan orang tersebut pun ditetapkan sebagai tersangka.
Enam orang itu terdiri dari Wali Kota Yana Mulyana, Kepala Dinas Perhubungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung Dadang Darmawan, dan Sekretaris Dinas Perhubungan Pemkot Bandung Khairul Rijal.
Kemudian Direktur PT Sarana Mitra Adiguna (SMA) Benny, Manager PT SMA Andreas Guntoro, dan CEO PT Citra Jelajah Informatika (CIFO) Sony Setiadi.
Sebelumnya, pada akhir Maret 2023, KPK menahan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat, dan istrinya, Ary Egahni, yang merupakan anggota DPR dari Fraksi Partai NasDem.
Keduanya disangka memotong anggaran daerah dan meminta uang serta barang mewah kepada beberapa kepala satuan kerja di Pemerintah Kabupaten Kapuas.
Diduga, uang hasil korupsi senilai Rp8,7 miliar itu akan digunakan untuk membiayai keduanya mengikuti pemilu dan pilkada mendatang. Selain itu, untuk membiayai kebutuhan hidup.
Kemudian Kamis malam, 6 April 2023, KPK menangkap Bupati Kepulauan Meranti, Riau, Muhammad Adil atas dugaan melakukan tiga klaster korupsi berbeda.
Korupsi itu antara lain permintaan setoran dari pemotongan uang persediaan dan ganti uang persediaan berkisar 5-10 persen dan penerimaan imbalan atau fee jasa travel umrah Rp1,4 miliar dari perusahaan swasta bernama PT Tanur Muthmainnah.
Adil juga disangka menyuap Ketua Tim Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau M Fahmi Aressa senilai Rp1,1 miliar agar audit keuangan Meranti mendapatkan predikat baik wajar tanpa pengecualian (WTP).
Sama dengan Ben dan Ary, Adil juga diduga melakukan korupsi untuk dana operasional safari politik pencalonannya di Pilkada Riau tahun 2024.
Sumber : Kompas TV/Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.