JAKARTA, KOMPAS.TV – Baru-baru ini, sebanyak 51 guru besar dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi mengirimkan surat pada majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pembatalan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam surat tersebut, dituliskan bahwa eksistensi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 justru memperlemah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
Sehingga situasi itu dianggap sangat bertolak belakang dengan cita-cita pembentukan KPK yang menitikberatkan pada upaya pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan bahwa gerakan ini sebenarnya sudah lama dilakukan sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perpres No. 102/2020 tahun lalu, tepatnya pada 21 Oktober 2020.
“Gerakan itu sudah ada sejak Jokowi mengirimkan Perpres kepada DPR untuk menyetujui revisi Undang-Undang KPK sebelumnya,” ungkap Azyumardi Azra kepada Kompas TV, Minggu (2/5/2021).
Baca juga: Terbukti, Setelah UU KPK Direvisi: Muncul SP3 dan Oknum Penyidik Diduga Lakukan Pemerasan
Azyumardi menyampaikan sejak revisi UU KPK itu disetujui oleh Presiden, Koalisi Guru Besar sudah menyampaikan hal sebaliknya karena khawatir itu akan melemahkan KPK.
“Pada kesempatan itu kita mendesak kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan Undang-Undang yang baru itu, yang tahun 2019. Waktu itu Jokowi mengatakan dia akan mempertimbangkan tetapi ternyata kemudian tetap saja Undang-Undang itu berlaku,” jelasnya.
Menurutnya, munculnya beberapa kasus yang terjadi di kalangan internal KPK saat ini menjadi bukti dari kekhawatiran yang dulu disampaikan kepada Presiden Jokowi.
“Apa yang kita khawatirkan kemudian terbukti. KPK tidak seperti yang diharapkan. Kalau melihat dari banyaknya pemberitaan di media KPK mengalami krisis integritas dan juga mengalami krisis demoralisasi,” katanya.
Krisis integritas yang dimaksud terkait adanya beberapa kasus yang terjadi dan melibatkan pihak internal KPK.
Pertama, Pegawai KPK berinisial IGA kedapatan mencuri emas batangan seberat 1,9 kilogram.
Emas itu merupakan barang rampasan perkara korupsi atas nama Yaya Purnomo, mantan Pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kedua, kasus dugaan pemerasan oleh penyidik KPK berinisial SRP terhadap mantan Wali Kota Tanjungbalai.
Dalam kasus ini, SRP meminta sejumlah uang agar penyidikan kasus korupsi terhadap Wali Kota Tanjungbalai dihentikan.
Baca juga: Dewas KPK Periksa Dugaan Pelanggaran Etik Penyidik yang Diduga Terima Suap dari M. Syahrial
Kemudian, kasus pihak internal KPK yang membocorkan Operasi Tangkap Tangan di Kalimantan Selatan.
Adapun, yang dimaksud dengan krisis demoralisasi yaitu banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri.
Tercatat ada 43 pegawai KPK yang keluar dari KPK sepanjang tahun 2020.
Selain itu, Azyumardi menambahkan revisi UU KPK No.19/2019 salah dalam dua hal.
Pertama proses legislasinya terburu-buru dan tidak melibatkan publik. Kedua secara subtansi UU tersebut mempunyai banyak kelemahan yang kemudian akibatnya akan melemahkan KPK.
“Kalau memang ingin KPK ini kembali kuat, maka dari momentum ini kita meminta hakim MK mengabulkan revisi Undang-Undang No.19 Tahun 2019 harus ditolak,” ucapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.