NEW YORK, KOMPAS TV — Dalam pertemuan Majelis Umum PBB hari Selasa, 24 September 2024, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menolak gagasan pembicaraan damai dengan Moskow dan meminta tindakan global yang tidak disebutkan untuk memaksa Rusia berdamai setelah invasi ke negaranya.
Zelenskyy menekankan Rusia harus dipaksa untuk menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara, sesuai dengan Piagam PBB.
Zelenskyy menyatakan Presiden Rusia Vladimir Putin, telah melakukan "kejahatan internasional" dan melanggar banyak aturan internasional. Ia menegaskan bahwa Rusia tidak akan berhenti dengan sendirinya.
"Itulah mengapa perang ini tidak bisa begitu saja berakhir. Perang ini tidak bisa diredakan dengan pembicaraan," kata Zelenskyy dalam pertemuan di sela-sela sidang tahunan Majelis Umum.
"Rusia hanya bisa dipaksa berdamai, dan itulah yang dibutuhkan — memaksa Rusia berdamai sebagai satu-satunya agresor dalam perang ini, satu-satunya pelanggar Piagam PBB."
Baca Juga: AS Akan Kirim Bantuan Senjata Senilai Rp5,7 Triliun ke Ukraina, Termasuk Bom Klaster Jarak Menengah
Pertemuan tingkat tinggi mengenai perang lebih dari dua setengah tahun di Ukraina tersebut dihadiri oleh menteri dari 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB. Rusia mengirim duta besar PBB tingkat rendahnya.
Vassily Nebenzia, duta besar Rusia untuk PBB, membuka pertemuan dengan protes bahwa Zelenskyy kembali diberikan sorotan di PBB.
Ia juga mengkritik Slovenia, yang memegang kepresidenan Dewan Keamanan bulan ini, karena mengizinkan "paduan suara" Zelenskyy untuk berbicara, merujuk pada sekitar 10 anggota Uni Eropa dan NATO yang selalu bersikap "seirama" setiap kali datang ke Dewan Keamanan untuk mencela Rusia.
"Kami tidak berniat membuang waktu mendengarkan pernyataan-pernyataan basi dan tidak orisinal ini," ujar Nebenzia.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan dukungan kuat PBB untuk kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina di bawah Piagam PBB.
"Invasi skala penuh Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 — setelah aneksasi ilegal Republik Otonom Krimea dan kota Sevastopol satu dekade lalu — jelas merupakan pelanggaran prinsip-prinsip ini," ujar Guterres.
Baca Juga: Zelensky Sebut Perang Rusia-Ukraina Bakal Berakhir Lebih Cepat dari Perkiraan
Zelenskyy juga menyebut beberapa negara yang ingin berbicara dengan Putin, namun ia bertanya, "Apa yang bisa mereka dengar darinya — bahwa dia marah karena kami menjalankan hak kami untuk membela rakyat kami, atau bahwa dia ingin terus melanjutkan perang dan teror agar tidak ada yang berpikir dia salah?"
China berulang kali menyerukan pembicaraan antara Ukraina dan Rusia. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa penderitaan dan kehancuran serta meningkatnya ketidakstabilan di wilayah tersebut "harus dibalikkan."
Wang menegaskan bahwa Presiden China Xi Jinping percaya "kedaulatan dan integritas teritorial semua negara harus dihormati." China berupaya mengadakan pembicaraan damai dan melakukan diplomasi antar negara, kata Wang, dan upaya ini mendapat dukungan internasional luas. Ia merujuk pada rencana perdamaian bersama China-Brasil yang dikeluarkan awal tahun ini.
Zelenskyy juga mengecam negara-negara yang memasok senjata dan amunisi kepada Rusia, dengan mengatakan bahwa Moskow tidak memiliki alasan yang sah untuk menjadikan Iran dan Korea Utara sebagai "sekutu de facto."
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyuarakan masalah serupa, namun ia juga menuduh China, yang memiliki hubungan dekat dengan Rusia, menyediakan alat mesin, mikroelektronika, dan barang-barang lain yang digunakan Rusia "untuk membangun kembali, mengisi kembali, dan meningkatkan mesin perangnya serta mempertahankan perang brutalnya."
Baca Juga: Erdogan Buka-bukaan Saat Turki Gagal Mediasi Perdamaian Rusia dan Ukraina, Ini yang Jadi Halangan
Wang, yang berbicara setelah Blinken, tidak secara langsung menanggapi tuduhan itu, namun ia mengatakan: "Saya juga ingin memperjelas bahwa dalam masalah Ukraina, setiap upaya untuk mengalihkan tanggung jawab kepada China atau menyerang dan memfitnah China adalah tidak bertanggung jawab dan tidak akan menghasilkan apa-apa."
Blinken juga menuduh Iran menyediakan drone bersenjata kepada Rusia sejak 2022 dan mengirimkan ratusan rudal balistik jarak pendek beberapa minggu lalu, yang dibantah oleh Presiden Iran yang baru, Masoud Pezeshkian.
Korea Utara juga dilaporkan telah mengirim senjata dan amunisi, termasuk rudal balistik dan peluru artileri, ke Rusia melalui kereta.
"Semakin Rusia bergantung pada dukungan mereka, semakin besar tuntutan Iran dan Korea Utara sebagai balasannya," kata Blinken. "Dan semakin banyak yang Putin berikan kepada Pyongyang dan Teheran, semakin besar ancaman yang diperburuk terhadap perdamaian dan keamanan."
Blinken juga menjawab kritik dari negara-negara yang mempertanyakan bantuan militer kepada Ukraina dan menyalahkan negara-negara yang memasok materi militer kepada Rusia. "Rusia adalah agresor, Ukraina adalah korban," kata Blinken.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.