JALUR GAZA, KOMPAS.TV — Konflik di Palestina kini mulai bergeser ke Lebanon. Pergeseran pertempuran ini menimbulkan kekhawatiran, akankah perhatian internasional telah teralihkan ke Lebanon? Dan, apakah warga Gaza akan semakin terlantar?
Atas pertanyaan itu boleh jadi keluarga sandera Israel yang ditawan di Gaza pun memiliki kekhawatiran yang sama.
Mereka berharap perhatian internasional tetap tertuju pada Gaza, untuk memperjuangkan nasib warga Israel yang disandera di Gaza.
Tengok saja cerita Nezar Zaqout, salah satu dari sekitar 1,9 juta warga Palestina yang terpaksa meninggalkan rumahnya sejak perang Israel-Hamas pecah.
Ia mengatakan, khawatir pertempuran di perbatasan Israel-Lebanon yang kini menjadi perhatian dunia akan mengalahkan perhatian internasional terhadap kehidupan di Gaza yang memprihatinkan dan melupakan upaya negosiasi gencatan senjata.
Baca Juga: Hujan Rudal Hizbullah Bikin Israel Umumkan Status Darurat Militer hingga 30 September
"Kami telah benar-benar dilupakan," kata Zaqout, yang tinggal di Khan Younis setelah melarikan diri dari Kota Gaza beberapa bulan lalu.
"Tidak ada berita tentang kami di media," ujarnya seperti dikutip dari The Associated Press.
Warga Palestina ini khawatir kondisi menyedihkan di Gaza akan menjadi permanen.
Sembilan puluh persen penduduknya kini merupakan tuna wisma, dengan ratusan ribu orang tinggal di tenda dan terus berjuang untuk mendapatkan makanan dan air bersih.
"Setahun berlalu, dan tidak ada yang peduli dengan kami. Setiap hari ada pengeboman, setiap hari ada martir, dan setiap hari ada yang terluka," kata warga Palestina lainnya, Saadi Abu Mustafa, yang melarikan diri dari Khan Younis ke Muwasi, sebuah penampungan tenda yang luas di sepanjang pantai selatan Gaza.
Sejak Hamas melancarkan perang pada 7 Oktober, invasi balasan Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 41.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 95.000 orang.
Serangan udara dan darat yang intens selama berbulan-bulan telah meluluhlantakkan seluruh blok perumahan menjadi rata dengan tanah.
Bahkan menurut para peneliti yang mempelajari citra satelit, memperkirakan hampir 60% bangunan di Jalur Gaza kemungkinan telah rusak sejak dimulainya perang.
Adapun pihak Israel berikrar akan menghancurkan Hamas setelah peristiwa 7 Oktober, ketika militan Palestina membunuh sekitar 1.200 orang dan menculik 250 orang lainnya.
Meskipun telah terbatas ruang geraknya, namun kelompok militan yang didukung oleh Iran itu tetap berkuasa hingga kini.
Baca Juga: AS Kirim Lebih Banyak Tentara ke Timur Tengah saat Gempuran Israel ke Hizbullah Makin Sengit
Pihak Pemerintah Israel mengatakan, sekitar 70 dari 100 sandera diduga masih hidup. Keluarga mereka khawatir fokus pemerintah untuk mengakhiri perang akan memudar.
"Kekhawatiran terbesar saya adalah semua perhatian publik dan perhatian dunia akan beralih ke utara," kata Udi Goren, kerabat Tal Haimi, seorang warga Israel yang terbunuh pada 7 Oktober dan jenazahnya dibawa ke Gaza.
"Akhirnya para sandera akan dibiarkan begitu saja tanpa ada yang membawa mereka keluar," ungkapnya.
Karena ancaman perang habis-habisan antara Israel dan Hizbullah meningkat, Israel telah menarik pasukannya di Gaza untuk memindahkan unit-unit penting ke perbatasan utaranya dengan Lebanon.
Namun, ribuan tentara masih berada di Gaza, melakukan penggerebekan sporadis dan mencegah warga Palestina yang mengungsi untuk kembali ke rumah.
Serangan harian juga terus berlanjut di Gaza. Serangan Israel terhadap sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan di Gaza utara pada hari Sabtu menewaskan sedikitnya 22 orang dan melukai 30 lainnya, yang sebagian besar merupakan wanita dan anak-anak.
Sumber : The Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.