Kompas TV internasional kompas dunia

Akrab dengan Budaya Bekerja Terlalu Keras, Jepang Dorong Warganya Jajal 4 Hari Kerja dalam Sepekan

Kompas.tv - 1 September 2024, 08:05 WIB
akrab-dengan-budaya-bekerja-terlalu-keras-jepang-dorong-warganya-jajal-4-hari-kerja-dalam-sepekan
Pekerja Jepang di lorong pada jam sibuk di Stasiun Shinagawa pada Rabu, 14 Februari 2024. (Sumber: AP Photo)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Vyara Lestari

TOKYO, KOMPAS.TV - Jepang, negara yang dikenal dengan budaya kerja kerasnya hingga memiliki istilah khusus karoshi untuk "kematian akibat kerja berlebihan", kini berusaha mengatasi kekurangan tenaga kerja dengan mendorong lebih banyak orang dan perusahaan untuk menerapkan empat hari kerja setiap minggu.

Pemerintah Jepang pertama kali mendukung konsep minggu kerja yang lebih pendek pada tahun 2021, setelah legislator menyetujui ide tersebut. 

Namun, penerapannya masih lambat: sekitar 8% perusahaan di Jepang memberikan karyawan mereka kesempatan untuk mengambil tiga hari atau lebih libur dalam seminggu, sementara 7% hanya memberikan satu hari libur sesuai ketentuan hukum, menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang.

Untuk mendorong lebih banyak penerapan, terutama di kalangan perusahaan kecil dan menengah, pemerintah meluncurkan kampanye "reformasi gaya kerja" yang mempromosikan jam kerja yang lebih pendek dan pengaturan fleksibel lainnya, bersama dengan batasan lembur dan cuti tahunan berbayar. 

Kementerian Tenaga Kerja baru-baru ini memulai layanan konsultasi gratis, hibah, dan kumpulan cerita sukses sebagai motivasi tambahan.

"Dengan menciptakan masyarakat di mana pekerja dapat memilih berbagai gaya kerja sesuai dengan keadaan mereka, kami bertujuan menciptakan siklus pertumbuhan dan distribusi yang baik serta memberikan setiap pekerja pandangan masa depan yang lebih baik," demikian bunyi situs web kementerian tentang kampanye hatarakikata kaikaku yang berarti "inovasi cara kita bekerja."

Namun, tantangan besar tetap ada. Hingga kini, hanya tiga perusahaan yang mengajukan permintaan untuk mendapatkan saran tentang perubahan, regulasi, dan subsidi yang tersedia, menunjukkan betapa sulitnya inisiatif ini diterapkan.

Lebih mencolok lagi, dari 63.000 karyawan Panasonic Holdings Corp yang memenuhi syarat untuk jadwal kerja empat hari, hanya 150 karyawan yang memilih untuk memanfaatkannya, menurut Yohei Mori, yang mengawasi inisiatif tersebut di salah satu perusahaan Panasonic.

Dukungan resmi pemerintah terhadap keseimbangan kerja-hidup yang lebih baik ini merupakan perubahan signifikan di Jepang, sebuah negara yang budaya kerja kerasnya sering dianggap sebagai pendorong pemulihan nasional dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa setelah Perang Dunia II.

Baca Juga: Korea Selatan Proyeksikan Penurunan Drastis Usia Kerja Tahun 2024 akibat Tingkat Kelahiran Rendah

Cakrawala kota Tokyo hari Rabu, (14/2/2024). berjalan di lorong pada jam sibuk di Stasiun Shinagawa pada Rabu, 14 Februari 2024, di Tokyo. (Sumber: AP Photo)

Tekanan untuk mengorbankan diri demi perusahaan sangat kuat. Warga biasanya mengambil cuti pada waktu yang sama setiap tahunnya, seperti saat libur Bon di musim panas dan sekitar Tahun Baru, sehingga rekan kerja tidak bisa menuduh mereka tidak peduli atau malas.

Jam kerja yang panjang adalah norma. Meskipun 85% perusahaan melaporkan memberikan karyawannya dua hari libur seminggu, dan ada batasan hukum pada jam lembur yang dirundingkan dengan serikat pekerja dan diatur dalam kontrak, beberapa orang Jepang melakukan "lembur layanan," yaitu kerja lembur yang tidak dilaporkan dan tidak dibayar.

Laporan pemerintah terbaru tentang karoshi mengungkapkan, Jepang mencatat setidaknya 54 kematian akibat kerja berlebihan setiap tahun, termasuk dari serangan jantung.

Warga Jepang yang dikenal sebagai masyarakat yang "serius, rajin, dan bekerja keras" cenderung menghargai hubungan mereka dengan rekan kerja dan memiliki ikatan kuat dengan perusahaan. Budaya ini juga sering digambarkan dalam acara TV dan komik manga Jepang, kata Tim Craig, penulis buku Cool Japan: Case Studies from Japan's Cultural and Creative Industries.

"Bekerja adalah hal besar di sini. Ini bukan hanya cara untuk menghasilkan uang, meskipun itu juga benar," ujar Craig, yang pernah mengajar di Doshisha Business School dan mendirikan perusahaan editing dan penerjemahan, BlueSky Academic Services.

Beberapa pejabat menganggap mengubah pola pikir ini sangat penting untuk menjaga tenaga kerja yang layak di tengah menurunnya tingkat kelahiran di Jepang. Dengan laju saat ini, yang sebagian disebabkan oleh budaya kerja yang sangat menuntut, populasi usia kerja diperkirakan akan menurun sebesar 40% menjadi 45 juta orang pada tahun 2065, dari 74 juta saat ini, menurut data pemerintah.

Pendukung model tiga hari libur mengatakan bahwa kebijakan ini mendorong orang tua yang merawat anak, mereka yang merawat orang tua lanjut usia, pensiunan yang hidup dari pensiun, dan orang lain yang mencari fleksibilitas atau pendapatan tambahan untuk tetap bekerja lebih lama.

Akiko Yokohama, yang bekerja di Spelldata, sebuah perusahaan teknologi kecil di Tokyo yang mengizinkan karyawannya bekerja empat hari seminggu, mengambil libur pada hari Rabu selain Sabtu dan Minggu. Hari libur tambahan ini memungkinkannya untuk pergi ke salon, menghadiri janji temu lainnya, atau berbelanja.

"Sulit jika harus terus bekerja lima hari berturut-turut saat kamu tidak merasa sehat. Istirahat ini memungkinkanmu untuk pulih atau pergi ke dokter. Secara emosional, ini juga mengurangi stres," kata Yokohama.

Baca Juga: Kelahiran Catat Rekor Terendah dan Pernikahan Anjlok, Krisis Demografi Jepang Makin Parah

Warga Jepang berjalan kaki sambil mengenakan masker di sebuah stasiun kereta di Tokyo pada 16 November 2021. (Sumber: AP Photo/Koji Sasahara)

Suaminya, yang bekerja sebagai broker real estat, juga libur pada hari Rabu tetapi bekerja pada akhir pekan, yang umum di industrinya. Yokohama mengatakan bahwa ini memungkinkan mereka untuk pergi berlibur keluarga pada pertengahan minggu bersama anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Fast Retailing Co., perusahaan Jepang yang memiliki Uniqlo, Theory, J Brand, dan merek pakaian lainnya, perusahaan farmasi Shionogi & Co., dan perusahaan elektronik Ricoh Co. serta Hitachi juga mulai menawarkan minggu kerja empat hari dalam beberapa tahun terakhir.

Tren ini bahkan telah mendapatkan pijakan di industri keuangan yang terkenal menuntut. SMBC Nikko Securities Inc. mulai menerapkan jadwal kerja empat hari seminggu pada tahun 2020. Mizuho Financial Group, salah satu bank terbesar di Jepang, menawarkan opsi jadwal kerja tiga hari.

Namun, ada kritik terhadap dorongan pemerintah ini. Beberapa mengatakan bahwa dalam praktiknya, pekerja yang menjalani jadwal kerja empat hari sering kali tetap bekerja sekeras sebelumnya namun dengan bayaran yang lebih sedikit.

Namun, tanda-tanda perubahan mulai terlihat.

Sebuah survei tahunan Gallup yang mengukur keterlibatan karyawan menemukan bahwa Jepang memiliki pekerja yang paling sedikit terlibat dibandingkan negara lain yang disurvei; dalam survei terbaru, hanya 6% responden Jepang yang menggambarkan diri mereka terlibat dalam pekerjaan mereka, dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 23%.

Artinya, hanya sedikit pekerja Jepang yang merasa sangat terlibat dan antusias dalam pekerjaan mereka, sementara sebagian besar hanya menjalani jam kerja mereka tanpa semangat atau energi.

Kanako Ogino, presiden NS Group yang berbasis di Tokyo, percaya bahwa menawarkan jam kerja fleksibel adalah keharusan untuk mengisi pekerjaan di industri jasa, di mana wanita merupakan mayoritas tenaga kerjanya. Perusahaannya, yang mengoperasikan tempat karaoke dan hotel, menawarkan 30 pola penjadwalan yang berbeda, termasuk minggu kerja empat hari, tetapi juga memberi pilihan untuk mengambil cuti panjang di antara masa kerja.

Agar para pekerja di NS Group tidak merasa dirugikan karena memilih jadwal alternatif, Ogino bertanya kepada 4.000 karyawannya dua kali setahun tentang cara kerja yang mereka inginkan. Menyatakan kebutuhan individu bisa dianggap tidak pantas di Jepang, di mana seseorang diharapkan untuk berkorban demi kebaikan bersama.

"Pandangan di Jepang dulu adalah: Kamu keren jika bekerja lebih banyak jam, bahkan dengan lembur gratis," kata Ogino sambil tertawa. "Tapi tidak ada mimpi dalam hidup seperti itu."


 

 




Sumber : Associated Press




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x