DEN HAAG, KOMPAS.TV - Sidang perdana dugaan genosida Palestina oleh Israel akan digelar di Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) di Den Haag, Belanda, Kamis (11/1/2024) besok. Sidang perdana ini akan diawali dengan dengar pendapat mengenai permintaan mendesak Afrika Selatan agar Israel menangguhkan operasi militer di Jalur Gaza.
Afrika Selatan sendiri menggugat Israel dengan tuduhan genosida di Gaza. Kedua negara merupakan pihak dalam Konvensi Genosida PBB 1948 sehingga wajib mencegah dan menghentikan kejahatan genosida.
Afrika Selatan merujuk pembunuhan warga sipil secara massal, khususnya anak-anak; pengusiran dan pemindahan paksa masyarakat Palestina secara massal; serta hasutan dan ujaran kebencian pejabat Israel terhadap masyarakat Palestina sebagai bukti sekaligus pernyataan intensi genosida oleh Israel.
Baca Juga: Sidang Genosida Palestina Digelar Pekan Depan, Bisakah Mahkamah Internasional Menghukum Israel?
Lebih dari 23.000 orang terbunuh di Jalur Gaza akibat operasi militer Israel sejak 7 Oktober lalu, lebih dari setengahnya adalah perempuan dan anak-anak. Lebih dari 85 persen dari 2,3 juta penduduk Jalur Gaza pun terusir dari rumahnya dan terancam kelaparan akibat pengepungan total Israel.
Afrika Selatan meminta Mahkamah Internasional menerbitkan perintah sementara agar Israel menangguhkan serangan ke Jalur Gaza. Apabila majelis hakim Mahkamah Internasional mengabulkan, perintah ini dapat diterbitkan dalam waktu beberapa pekan.
Sementara itu, kasus genosida Israel diperkirakan memerlukan waktu bertahun-tahun hingga membuahkan putusan. Saat ini, ICJ pun masih memiliki kasus aktif genosida Rohingya oleh Myanmar yang digugat Gambia pada 2019 silam.
Meskipun demikian, profesor hukum internasional dari Trinity College Dublin, Michael Becker menduga perintah sementara itu akan sulit diputuskan. Pasalnya, Hamas bukan menjadi pihak dalam kasus ini sehingga pengadilan tidak bisa mengeluarkan perintah untuk dua pihak yang berkonflik.
"Hamas bukanlah pihak dalam gugatan ini dan ICJ mungkin akan ragu memerintahkan Israel menangguhkan tindakannya saat mereka tidak bisa meminta Hamas melakukan hal yang sama," kata Becker dikutip Al Jazeera, Rabu (10/1).
Becker menambahkan, Mahkamah Internasional kemungkinan akan memerintahkan Israel untuk menunjukkan pembatasan lebih besar atas operasi militer mereka di Jalur Gaza.
Di lain sisi, jenis hukuman yang bisa diputuskan untuk Israel di Mahkamah Internasional disebut sulit diprediksi. Begitu pula dengan pelaksanaan hukuman tersebut.
Israel diwajibkan mematuhi putusan Mahkamah Internasional yang mengikat secara hukum dan tidak bisa mengajukan banding. Namun, Tel Aviv berpeluang besar tidak mematuhinya.
Pasalnya, Mahkamah Internasional akan mengalihkan pelaksanaan putusan pada Dewan Keamanan PBB jika terhukum tidak patuh. Di Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat (AS), sekutu nomor wahid Israel, memegang hak veto yang bisa membatalkan resolusi.
Sejak 1945, AS tercatat telah memveto 34 dari 36 draf resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Israel-Palestina.
Direktur Tahrir Institute for Middle East Policy Mai El-Sadany menilai sidang Mahkamah Internasional berguna untuk memberikan tekanan internasional yang lebih besar terhadap Israel untuk segera menghentikan perang.
"Ini adalah salah satu alasan kenapa penting untuk tidak terlalu memikirkan putusan ICJ dan lebih memikirkan prosesnya," kata Mai El-Sadany.
"Itu bisa menimbulkan dampak signifikan terkait akuntabilitas dalam bentuk yang lain, baik mendokumentasikan pengalaman korban, menetapkan dan mempermalukan pelaku, atau meneguhkan preseden internasional," lanjutnya.
Baca Juga: Pidato Tahunan Terakhir Menteri Retno Marsudi: Ada Satu Utang Belum Terbayar, Kemerdekaan Palestina
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.