KAZAN, KOMPAS.TV - Forum Dunia Islam - Rusia akan dimulai di Kazan, barat daya Rusia, hari Kamis, (18/5/2023). Forum ini bertujuan memperkuat ikatan ekonomi antara Rusia dan negara-negara muslim. Dalam situasi putusnya hubungan antara Rusia dan Barat, ikatan ini sekarang menjadi bagian dari tatanan dunia yang berubah.
Seperti laporan France24, Selasa (16/5/2023), keputusan Rusia menggelar forum Dunia Islam-Rusia di Kazan punya makna simbolis: ibu kota Tatarstan, yang terletak sekitar 800 km di sebelah timur Moskow, dipandang oleh Rusia sebagai contoh sukses multikulturalisme dan kehidupan beragama yang damai.
Rusia adalah rumah bagi sekitar 15 juta warga Muslim "dalam arti mereka termasuk dalam kelompok etnis dengan dasar budaya yang terkait dengan Islam. Tidak semua dari mereka adalah penganut atau praktisi Muslim," menurut laporan dari Institut Hubungan Internasional Prancis.
Secara keseluruhan, umat muslim menyusun 10 persen dari populasi Rusia, dengan sebagian besar tinggal di Kaukasus, daerah yang memisahkan Laut Kaspia dan Laut Hitam, serta di wilayah Volga-Ural.
Umat muslim telah tinggal di Tatarstan, di Distrik Volga, selama berabad-abad dan populasi Tatar (yang berasal dari kelompok etnis Turki yang sebagian besar muslim) merupakan kelompok minoritas etnis terbesar di Rusia.
"Tatarstan adalah salah satu wilayah terkaya di Rusia sehingga juga berfungsi sebagai contoh pameran ekonomi," kata Ivan Ulises Kentros Klyszcz, peneliti di Pusat Internasional untuk Pertahanan dan Keamanan di Tallinn, Estonia, "Karena Tatarstan menarik investasi dan menjadi pusat industri, punya citra yang sangat sesuai dengan pendekatan ekonomi pragmatis Rusia."
Forum di Kazan bertujuan memperkuat ikatan ekonomi, budaya, dan intelektual antara Rusia dan 57 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), organisasi yang didirikan pada tahun 1969 untuk mewakili "suara kolektif dunia Muslim" dan melindungi kepentingan negara-negara anggotanya secara bersama-sama.
Baca Juga: Rusia Hantam Kiev dalam Serangan Udara Besar-Besaran Gunakan Drone dan Rudal Jarak Jauh
Meskipun Rusia bukan anggota penuh OKI, tahun 2003 Presiden Vladimir Putin menjadi kepala negara pertama dari negara mayoritas non-muslim yang diundang untuk berbicara di sebuah pertemuan puncak OKI.
Hanya tiga tahun setelah menjabat pertama kali, Putin bertujuan untuk memperbaiki citra Rusia di dunia Islam setelah perang melawan populasi muslim di Chechnya (yang terletak di Kaukasus) dan Afghanistan.
Dua tahun kemudian, Putin meraih kemenangan diplomasi ketika Rusia diterima dengan status negara pengamat oleh OKI.
"Integrasi Rusia ke dalam organisasi ini terjadi dalam konteks ketegangan baru dengan AS, terutama mengenai Irak, dan juga sebagai respons terhadap keinginan Arab Saudi untuk menyesuaikan kembali hubungannya dengan AS," kata Igor Delanoë, Wakil Kepala Pusat Analisis Prancis-Rusia Observo (CCI France-Russia) di Moskow.
Hal ini juga memungkinkan Rusia untuk mengeklaim rasa kepemilikan di dunia muslim, posisi yang selalu ingin ditonjolkan oleh Putin.
Presiden tersebut secara historis mempromosikan keragaman agama dan etnis Rusia sebagai alat hubungan luar negeri untuk menempatkan negara ini sebagai mediator utama antara Barat dan Timur.
Baca Juga: NATO Ingin Jamin Keamanan Ukraina, tapi Khawatir Terlibat Perang Nuklir dengan Rusia
Untuk mempertahankan pengaruhnya di negara-negara muslim, Rusia membentuk "kelompok visi strategis" tahun 2006, yang saat ini dipimpin oleh Rustam Minnikhanov, kepala Tatarstan.
Munculnya pemberontakan musim semi Arab pada awal 2010-an membuat pekerjaan kelompok ini menjadi kurang terfokus, tetapi kegiatan mereka meningkat sejak aneksasi Krimea oleh Rusia tahun 2014 dan sanksi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Barat.
Putusnya hubungan dengan Barat memicu peningkatan aktivitas ekonomi antara Rusia dan Timur Tengah yang keduanya menyambut dengan baik.
"Perubahan generasi di antara monarki di negara-negara Teluk memungkinkan adanya hubungan yang lebih erat, dimana untuk kepala negara yang lebih muda, perang di Afghanistan dan Chechnya hanya terletak dalam buku sejarah," kata Delanoë.
Pemimpin Rusia dengan latar belakang muslim sering digunakan sebagai "utusan" diplomatik untuk memperkuat hubungan, tambah Delanoë. Pada Maret 2022, misalnya, Minnikhanov bertemu dengan Presiden Macky Sall dalam kunjungannya ke Senegal.
"Diplomasi paralel ini dilakukan dengan cara yang terkoordinasi, sejalan dengan agenda politik Kremlin," kata Klyszcz.
Pemimpin Chechnya, Ramzan Kadyrov, juga berperan aktif dalam membangun hubungan dengan negara-negara Teluk di mana identitas agama bersama memainkan peran kunci.
Pada tahun 2018 dan 2022, ia melaksanakan ibadah haji di Arab Saudi dan bertemu dengan kepemimpinan Saudi selama kedua kunjungan tersebut.
Baca Juga: Utusan Khusus China Berangkat ke Ukraina dan Rusia Berupaya Mendorong Kesepakatan Damai
Saat perang di Ukraina mengubah hubungan internasional di seluruh dunia, perang tersebut pasti akan mempengaruhi pertemuan di Kazan. Di Moskow, ada niat yang jelas untuk menggeser fokus kemitraan strategis dan ekonomi dari Barat.
Pada bulan Maret, Kremlin merilis pandangan kebijakan luar negeri baru yang mencantumkan kata "Islam" untuk pertama kalinya dan menyatakan niat untuk memperdalam hubungan dengan negara-negara muslim, bersama dengan negara-negara di Afrika dan Amerika Selatan.
Setelah Forum Dunia Islam-Rusia pada bulan Mei, akan diadakan KTT Puncak Rusia-Afrika yang kedua di St. Petersburg pada bulan Juli.
Perkembangan dalam kebijakan luar negeri ini merupakan bagian dari "narasi bahwa negara-negara ini penting dalam merestrukturisasi tatanan dunia," kata Klyszcz.
Untuk lebih menegaskan pesannya, Rusia berusaha keras membedakan pendekatan kebijakan luar negerinya dari Barat.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berulang kali berbicara tentang sikap Barat yang "kolonial" terhadap seluruh dunia, menggali perasaan ketidakpuasan terhadap AS, khususnya.
"Dalam dunia muslim, Rusia tentu saja diterima lebih baik daripada Barat, tetapi kesan positif ini dibesar-besarkan oleh propaganda," kata Klyszcz.
Sentimen anti-Barat juga berkontribusi pada kesalahpahaman tentang realitas di Ukraina, katanya.
Keberadaan jumlah tentara yang signifikan dari Kaukasus di medan perang membantu menciptakan narasi bahwa Rusia "berjuang bersama-sama dengan umat muslim".
Baca Juga: Benar atau Tidak, Serangan Drone atas Kremlin Mengguncang Rusia
Sementara banyak negara di seluruh dunia bersuara mendukung Ukraina, beberapa negara lainnya tetap diam, enggan melakukan pengorbanan ekonomi dan diplomatik atas nama konflik yang terletak jauh dan terkesan "imperial".
Beberapa negara muslim menolak memberikan suara untuk mengeluarkan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada April 2022, dan negara-negara di Dunia Selatan sebagian besar memilih tidak memberlakukan sanksi terhadap Rusia seperti tindakan oleh Amerika Serikat dan Eropa.
Sekarang Rusia nampaknya bertekad untuk memenangkan hati Dunia Selatan, dan perasaan tersebut mungkin saling berpagut.
"Putusnya hubungan dengan Rusia mungkin dianggap sebagai kemenangan Barat di Eropa, tetapi di Dunia Selatan tidak ada kemenangan Barat.
Sebaliknya, perang ini mempercepat fragmentasi, membatalkan globalisasi, dan menyebabkan regionalisasi blok strategis dan ikatan ekonomi," kata laporan Institut Hubungan Internasional Prancis.
Sumber : France24
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.