KHARTOUM, KOMPAS.TV - Angkatan Bersenjata Sudan menempuh langkah drastis dengan melakukan kudeta pada Senin (25/10/2021). Militer menangkapi pejabat sipil, termasuk Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan membubarkan pemerintahan transisi.
Kudeta ini didahului tensi panas antara otoritas sipil dan militer usai pemakzulan diktator militer Omar Al-Bashir pada April 2019.
Kudeta ini mengancam transisi rentan negara Sudan menuju demokrasi. Sedianya, pemerintahan transisi akan menjembatani proses Sudan menuju pemilihan umum pada 2023.
Akan tetapi, friksi antara otoritas sipil dan militer tak terhindarkan. Protes massa pendukung kedua kubu pun memanaskan situasi.
Demonstrasi massa yang menentang kudeta pun dijawab dengan tangan besi oleh militer. Tentara dilaporkan menembaki demonstran dan membunuh beberapa di antaranya.
Baca Juga: Kudeta Sudan, 7 Orang Tewas dan 140 Luka-luka Saat Bentrok Militer dan Massa
Berikut kronologi yang melatari kudeta militer Sudan, mulai dari pemakzulan Omar Al-Bashir hingga friksi yang terjadi belakangan ini.
Omar Al-Bashir adalah diktator yang berkuasa berkat kudeta pada 1989. Ia memerintah dengan tangan besi dan didukung militer serta kelompok Islamis.
Pada akhir 2018, kondisi ekonomi yang memburuk memantik protes besar-besaran terhadap pemerintahan Al-Bashir.
Demonstrasi besar itu didukung berbagai kelompok, mulai dari serikat profesional, partai politik, serta kelompok pemuda.
Protes berbulan-bulan pun membuat militer bertindak. Angkatan Bersenajata Sudan mengudeta Al-Bashir dan menahannya pada April 2019.
Akan tetapi, demonstran belum puas karena militer tetap menjadi pihak yang mengisi pemerintahan.
Wakil Presiden Al-Bashir sekaligus Menteri Pertahanan Ahmed Awad Ibn Auf mendeklarasikan diri sebagai kepala negara yang memimpin pemerintahan transisi.
Demonstran menuntut militer menyerahkan kekuasaan kepada sipil. Protes pun disambut dengan kekerasan.
Baca Juga: Sejarah Kudeta Militer Sudan: Konflik Tak Berkesudahan dan Puluhan Tahun Kediktatoran Militer
Pada Juni 2019, tentara menyerang kamp demonstran di Khartoum dan membunuh lebih dari 100 orang. Tentara juga dilaporkan memerkosa demonstran perempuan.
Setelah itu, pihak militer melunak dan mau berkompromi. Dewan transisi baru yang memuat otoritas sipil dan militer pun dibuat.
Abdalla Hamdok terpilih menjadi perdana menteri. Pihak sipil dan militer pun menyetuji Deklarasi Konstitusi yang menjanjikan pemilihan umum pada 2023.
Akan tetapi, militer minta jatah memimpin dewan ini terlebih dulu. Setelah itu sipil baru boleh memimpin.
Panglima militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan menjadi pemimpin pertama dewan pemerintahan transisi.
Dewan transisi berhasil mendamaikan Sudan untuk sementara, mencapai perjanjian damai dengan berbagai kelompok pemberontak dan menghapus aturan-aturan otoriter peninggalan Al-Bashir.
Namun, pemerintahan interim kesulitan mengembangkan ekonomi Sudan yang sudah memburuk pada akhir era Al-Bashir.
Ekonomi lesu menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat. Demonstrasi pun kembali terjadi, kali ini antara kubu pro-militer dan pro-pemerintahan sipil.
Baca Juga: Sekilas tentang Jenderal Abdul Fattah al-Burhan, yang Ambil Alih Pemerintahan dan Kini Pimpin Sudan
Sedianya, pos pemimpin dewan ini akan diserahkan kepada sipil pada November 2021 hingga pemilu 2023.
Demonstran pro-demokrasi menuntut militer menyerahkan kekuasaan kepada sipil. Demonstran ini dipayungi kelompok aliansi yang diisi berbagai pihak, mulai dari partai politik hingga kelompok pemberontak.
Demonstran juga menuntut restrukturasi militer dan aparat keamanan, meminta loyalis Al-Bashir disingkirkan. Mereka juga menuntut militer mengakomodasi berbagai faksi kelompok bersenjata dan tunduk pada pengawasan sipil.
Sementara itu, demonstran pro-militer juga beraksi. Sejak September 2021, demonstran pro-militer dilaporkan memblokade jalanan, jalur pipa bahan bakar, serta pelabuhan.
Mereka menuntut pemerintahan Abdalla Hamdok dibubarkan.
Serangkaian demonstrasi pun membuat Jenderal Burhan lebih berani menentang sipil. Sebelum melakukan kudeta, ia bahkan mengaku militer berencana menyerahkan kekuasaan hanya kepada pemerintahan yang terpilih dalam pemilihan umum.
Pada Senin (25/10) lalu, Jenderal Burhan dilaporkan hendak membubarkan dewan transisi dan meminta dukungan Hamdok. Namun, Hamdok menolak dan ia pun ditahan.
Demonstrasi dilaporkan tetap berlangsung pada Selasa (26/10) kendati aparat menghadapinya dengan brutal.
Komunitas internasional pun rata-rata mengecam aksi militer Sudan.
Baca Juga: Kudeta Militer Sudan Dikecam Dunia, PBB hingga China Berikan Respons
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, dan Amerika Serikat mendesak kudeta dihentikan. Sedangkan Liga Negara-Negara Arab serta China meminta masing-masing pihak berdialog.
Jenderal Burhan sendiri mengeklaim tidak akan membentuk pemerintahan tetap, tidak seperti Omar Al-Bashir dan pendahulunya yang melakukan kudeta demi kekuasaan sendiri.
Ia mengaku tetap berkomitmen untuk menggelar pemilu pada 2023.
Akan tetapi, jadwal pemilu masih lama dan para pengamat mengkhawatirkan apa yang akan terjadi selama periode ini.
Di lain sisi, demonstrasi tak menunjukkan tanda-tanda menyurut dan membuat peluang konfrontasi demonstran vs aparat sangat terbuka.
Baca Juga: Kudeta Militer di Sudan, AS Bekukan Bantuan USD700 Juta dan PBB Laporkan Situasi Memanas
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.