YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Supermodel Palestina-Amerika, Gigi Hadid, mengumumkan akan mendonasikan pendapatannya selama pekan fesyen musim gugur 2022 untuk korban perang di Palestina dan Ukraina.
Pada Senin (7/3/2022), model berusia 26 tahun itu menyebut pendapatannya akan digunakan untuk “membantu mereka yang menderita oleh perang di Ukraina, juga untuk terus mendukung mereka yang mengalami hal yang sama di Palestina.”
“Mata dan hati kita harus terbuka untuk segala ketidakadilan terhadap manusia. Semoga kita melihat satu sama lain sebagai saudara dan saudari, melampaui politik, melampaui ras, melampaui agama. Pada akhirnya, jiwa-jiwa tak bersalah yang mesti membayar akibat dari perang, bukan para pemimpin,” kata Hadid.
Gigi Hadid sendiri tampil dalam beberapa acara fesyen belakangan ini. Salah satunya adalah Paris Fashion Week yang digelar pada awal Maret 2022.
Baca Juga: Gigi Hadid Ingatkan Fansnya Tetap Jaga Jarak saat Minta Selfie, Ini Alasannya
Gigi pun mengekspresikan keresahannya tidak bisa menyesuaikan jadwal pekerjaannya.
“Memiliki satu set jadwal Bulan Fesyen berarti saya dan kolega sering mempresentasikan busana baru selama periode bersejarah yang traumatis dan memilukan,” kata Gigi.
“Kami tidak punya kontrol atas sebagian besar jadwal kerja kami, tetapi kami ingin berbuat untuk sesuatu,” lanjutnya.
Pengumuman Gigi Hadid yang mendonasikan pendapatan untuk korban perang di Ukraina dan Palestina itu dibuat beberapa hari setelah adiknya, Bella Hadid, menyoroti standar ganda yang diterapkan sebagian kalangan termasuk media, atas konflik-konflik yang terjadi di dunia.
Pada Sabtu (5/3/2022), Bella mengunggah ulang tangkapan layar yang menampilkan tulisan musisi Kanada bernama Mustafa lewat akun Instagram resminya.
"Bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan penindasan, tidak boleh lebih mendukung satu korban ketimbang lainnya," bunyi tulisan tersebut.
Dalam keterangan foto tersebut, Bella menambahkan, "Ketidakadilan di mana pun adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana."
Bella membandingkan peliputan yang penuh amarah atas invasi Rusia ke Ukraina dengan kejadian-kejadian yang sama di negara-negara Islam yang disikapi dunia dengan dingin dan ketidakpedulian.
Pemberitaan media-media Barat tentang konflik Rusia-Ukraina sebelumnya telah menjadi sorotan. Mereka dikritik atas perspektif rasisme mereka dalam peliputan invasi Rusia ke Ukraina.
Baca Juga: Rasisme Media Barat dalam Peliputan Invasi Rusia ke Ukraina
Sebagaimana diwartakan Middle East Eye, koresponden Barat tak jarang meliput konflik di Ukraina sembari menyinggung konflik bersenjata di Timur Tengah.
Umumnya, mereka menunjukkan keterkejutan karena konflik meletus di Eropa yang “lebih beradab”.
“Mereka terlihat seperti kita. Itulah yang membuat ini sangat mengejutkan,” tulis jurnalis dan mantan politikus Konservatif Inggris Raya, Daniel Hannan, dalam kolomnya untuk The Telegraph.
“Ukraina adalah suatu negara Eropa. Rakyatnya menonton Netflix dan punya akun Instagram, memilih dalam pemilu yang bebas dan membaca surat kabar tanpa sensor. Perang tidak lagi sesuatu yang menimpa populasi terpencil dan melarat. Itu bisa terjadi pada siapa saja,” tulisnya.
Sementara itu, koresponden senior CBS News, Charlie D’Agata, mengucapkan komentar bernada rasisme saat melakukan siaran langsung di Kiev.
“Ini bukanlah tempat, dengan segala hormat, yang seperti Irak atau Afghanistan yang telah melihat konflik berkobar selama berdekade-dekade,” kata D’Agata.
“Ini (Ukraina) relatif beradab, relatif Eropa—saya harus memilih kata-kata ini dengan hati-hati—kota yang mana kamu tidak akan menduga (perang) akan terjadi, atau berharap bahwa itu (perang) akan terjadi.”
D’ Agata kemudian meminta maaf.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.