JAKARTA, KOMPAS.TV - Aturan puasa Ramadan menurut Islam adalah menahan haus dan lapar dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.
Lantas, bagaimana cerita Muslim puasa Ramadan di Swedia, negara yang tak memiliki matahari terbit dan tenggelam?
Tidak seperti Indonesia yang memiliki 12 jam waktu siang dan 12 jam waktu malam, ada beberapa negara yang tidak merasakan gelap, termasuk Swedia.
Meskipun malam hari, langit Swedia tidak gelap seperti di Indonesia, melainkan masih terang dan matahari masih bersinar.
Fenomena ini dinamakan Midnight Sun. Hal tersebut terjadi karena posisi Swedia berada pada bagian utara Bumi.
Saat musim panas (Juni-Agustus) Kutub Utara akan lebih condong ke arah Matahari, sehingga menyebabkan negara-negara di utara Bumi lebih banyak mendapat sinar matahari dalam sehari.
Namun, saat musim dingin (November-Maret) belahan bumi utara menjauh dari matahari, ini menjadi penyebab suhu di utara ekuator lebih dingin.
Baca Juga: Wajib Ada di Meja Makan, Ini 5 Makanan Khas Ramadan di Berbagai Negara
Selain Swedia, Finlandia, Greenland, Kanada dan Norwegia juga mengalami fenomena yang sama.
Bisa dibilang, Ramadan di Swedia bisa sampai 25 jam ketika Ramadan jatuh di musim panas, namun, bisa berdurasi 2 jam jika Ramadan jatuh di musim dingin.
Melansir Aljazeera, pada tahun 2014, diperkirakan 700 Muslim menghabiskan Ramadan di kota pertambangan Kiruna, yang terletak 145 km utara Lingkaran Arktik dan dikelilingi oleh pegunungan berselimut salju sepanjang musim panas.
Ghassan Alankar, pendatang dari Suriah sempat menceritakan bagaimana kisahnya puasa di Swedia.
"Saya memulai Ramadan dengan sahur dengan matahari bersinar di mata saya pada pukul 3:30 pagi,” kata Ghassan Alankar.
"Saya memasang tirai ganda di kamar saya dan masih ada cahaya ketika saya akan tidur," ujarnya.
Karena tidak ada otoritas pusat Islam yang dapat mengeluarkan keputusan agama yang pasti, atau fatwa, umat Islam di Swedia menggunakan setidaknya empat jadwal berbeda untuk berbuka puasa.
Alankar berpegang pada waktu Makkah, Arab Saudi.
"Karena itu adalah tempat kelahiran Islam," katanya.
Namun ia tetap khawatir apakah puasanya dapat diterima oleh Allah atau tidak.
“Saya tidak yakin saya melakukan hal yang benar. Hanya ketika saya di rumah Tuhan, jika saya berhasil ke surga, saya akan tahu," kata Alankar.
Baca Juga: Ramadan di Timur Tengah Dihantui Meroketnya Harga-Harga akibat Perang Rusia-Ukraina
Berbeda dengan Alankar, Idris Abdulwhab, dari Eritrea mengikuti fatwa ECFR, yang berarti periode puasa terlamanya adalah 20 jam.
Sumber : Al Jazeera, The Star
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.