JAKARTA, KOMPAS.TV – Sejumlah kalangan menolak keputusan DPR yang menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang saat perppu tersebut sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.
Mengutip dari Kompas.id, Peneliti The Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi mengungkapkan, UU Cipta Kerja akan berdampak buruk bagi masyarakat perdesaan dan kaum buruh.
Perlindungan kerja kepada petani akan melemah dan komoditas pangan impor akan semakin mengimpit petani lokal.
Misalnya, Pasal 30 Ayat 1 UU Cipta Kerja yang membuka lebar keran impor pangan sehingga petani dibiarkan bersaing di pasar bebas dengan kekuatan korporasi atau pemodal besar di bidang pangan.
Selain itu, ada penghapusan soal sanksi dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar bagi pengimpor komoditas pertanian saat hasil komoditas lokal masih mencukupi di UU Cipta Kerja.
Sanksi itu sebelumnya ada dalam Pasal 101 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Petani khawatir undang-undang yang dibuat dengan metode omnibus law ini akan semakin mengimpit lapangan pekerjaan mereka.
Baca Juga: Puan Maharani Resmi Sahkan Perppu Cipta Kerja, Demokrat Menolak, PKS Walkout
Produksi dalam negeri akan mati, benih lokal menghilang, hingga lahan pertanian tergusur pembangunan atas nama investasi.
“Sebelum ada UU Cipta Kerja saja desa-desa ini sudah dihajar dengan investasi yang ugal-ugalan, sementara UU ini mencakup banyak sekali sendi di masyarakat,” ungkap Sri dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
Tak hanya petani, kelompok nelayan, petambak, dan masyarakat pesisir juga mengalami nasib yang tak jauh beda.
Definisi nelayan kecil yang sebelumnya dalam UU No 45/2009 dibatasi dengan ukuran kapal maksimal 5 gros ton, di dalam UU Cipta Kerja tidak dibatasi lagi.
Nelayan kecil hanya dianggap nelayan yang mencari ikan untuk kebutuhan sehari-hari.
Hal ini berarti perlindungan terhadap nelayan terancam karena akan terjadi penyamarataan antara nelayan kecil dan nelayan bermodal.
Definisi yang tidak jelas ini menimbulkan ketidakadilan karena izin berusaha untuk nelayan besar tidak menjadi masalah.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengancam area tangkap ikan bagi nelayan kecil karena tidak ada batasan yang jelas.
Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga tidak lagi wajib melibatkan konsultasi aktif dengan publik. Dampaknya, kerusakan lingkungan.
Sri menyebut, UU Cipta Kerja juga telah banyak menghapus, mengubah, dan menyisipkan beberapa ketentuan di dalam UU yang terkait dengan masyarakat hukum adat.
Baca Juga: Demo Tolak Perppu Cipta Kerja, Massa Bawa Nasi Tumpeng hingga Keranda ke Gedung DPR
Di antaranya, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No 39/2014 tentang Perkebunan, dan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Misalnya, UU Cipta Kerja membuat badan usaha milik desa (BUMDes) bisa dimasuki modal asing karena frasa dimiliki oleh masyarakat itu dihapus. Tanpa UU Cipta Kerja saja desa-desa itu sebenarnya sudah banyak dikooptasi oleh modal, sementara desa ini sangat lemah dan nyaris tidak ada perlindungan,” papar Sri.
Aktivis buruh Nining Elitos juga mengecam pengesahan UU Cipta Kerja.
Menurut dia, buruh akan kehilangan kepastian kerja, ekonominya semakin tertekan karena upah akan semakin rendah, sedangkan beban kerja bertambah, hingga nilai tawar buruh terhadap perusahaan dan pemerintah akan merosot.
Nining menilai, UU Cipta Kerja diciptakan untuk kepentingan pengusaha.
Suara-suara penolakan dari masyarakat, mulai dari jalanan hingga jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi, tidak didengar.
Bahkan, suara masyarakat dibungkam dengan surat telegram Kepala Polri yang menginstruksikan anggota kepolisian untuk melawan narasi anti-UU Cipta Kerja di masyarakat.
“Kekuasaan hari ini semakin culas dan mereka tidak butuh rakyat. Yang mereka butuhkan hanya investasi, tetapi mengorbankan aspek yang lebih besar, yaitu persoalan kemanusiaan yang adil dan sejahtera,” kata Nining.
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.