JAKARTA, KOMPAS.TV - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan, pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan terkait kenaikan harga komoditas energi.
Terutama, kata Faisal, pemerintah harus berani merebut hak rakyat dengan mengenakan pajak ekspor progresif bagi batu bara setidaknya 20 persen.
"Rebut hak rakyat dengan mengenakan pajak ekspor [batu bara] setidaknya 20 persen, tapi kalau naik terus, naikkan lagi progresif, harus lebih progresif dari sawit," kata Faisal Basri dalam program "B-Talk Bussiness" Kompas TV, Selasa (5/10/2021) malam.
Terlebih, Faisal juga menjelaskan soal bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di Indonesia dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Baca Juga: Upayakan Sumber Energi Rendah Karbon, ESDM: PLTU Batu Bara Tak Lagi Dipilih
Faisal juga menyebut bahwa kekayaan alam tersebut bukan milik segelintir orang atau perusahaan.
"Nah, sekarang sih saya ingin bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara (bukan) bagi sebesar-besarnya untuk Haji Isam, Bakrie, dan Adaro, bukan. Tapi, bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," sebut Faisal.
Dia juga menerangkan, baiknya pemerintah untuk menggunakan formulasi Crude Palm Oil (CPO). Apabila permintaan naik, maka ditetapkan pajak ekspor progresif dengan windfall profit yang lari ke rakyat.
"Pakai saja formulasi CPO, kalo CPO naik, ada pajak ekspor progresif. Nah gunakan itu agar 50 persen setidaknya windfall profit itu larinya ke rakyat," jelasnya.
Faisal berkali-kali menyarankan pemerintah untuk mengenakan pajak ekspor pada batu bara.
"Kenakan pajak ekspornya, kok takut bener batubara dikenakan pajak ekspor," tegasnya.
Kenaikan harga komoditas energi disebut telah terjadi berulang kali, oleh karena itu Faisal mendorong pemerintah untuk tidak lagi berpikir panjang untuk menetapkan pajak progresif ekspor batu bara.
Jika perlu, kata Faisal, besok keluarkan Peraturan Presiden (Perpres) khusus tentang pajak progresif ini.
"Inikan udah non vulnerable, udah merusak lingkungan, tambah lagi pajak lingkungan seharusnya kan. Itu yang harusnya segera dilakukan untuk ini, nggak usah pikir panjang. Besok keluarkan perpres, kenakan bea ekspor semakin tinggi, kenakan kalo perlu 20 persen 30 persen lebih progresif dari sawit," pungkasnya.
Sementara itu, kondisi kenaikan komoditas energi dapat berpotensi menghadapi ancaman serius kenaikan harga. Seperti, kenaikan harga BBM non subsidi, tarif listrik, hingga harga LPG.
Terkait hal ini, pemerintah diwakili oleh Basilio Dias Araujo, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) menyatakan, pihaknya akan lebih dulu melihat tren kenaikan yang terjadi.
Terlebih pada 1-12 November akan dilaksanalan konferensi perubahan iklim dunia (COP26) yang akan berlangsung di Glasgow, Inggris.
"Saya melihatnya, kenaikan harga komoditas itu sebenarnya terjadi [adanya pengaruh] antara kelompok yang pro fosil dan pro lingkungan. Jangan-jangan kenaikan ini hanya sementara karena akan ada pertemuan besar," kata Basilio dalam acara yang sama.
Oleh karena itu, pemerintah baru akan mengambil kebijakan setelah konferensi iklim di Glasgow, Inggris, selesai.
Baca Juga: China Hentikan Pendanaan PLTU, Peneliti: Lonceng Kematian Industri Energi Kotor Batubara
"Jadi keputusan apapun dari pemerintah harus menunggu setelah konferensi Glasglow, Inggris," pungkas Basilio.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.