KOMPAS.TV – Ikan tilapia atau lebih dikenal sebagai ikan nila merupakan hidangan yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Selain murah, ikan nila dinilai enak dan bergizi tinggi sehingga sering menjadi pilihan utama masyarakat untuk santapan olahan ikan.
Meskipun demikian, ikan tilapia memiliki potensi ekspor yang besar, bahkan tidak mustahil menjadi primadona ekspor perikanan.
Saat ini, Indonesia menduduki negara keempat eksportir tilapia terbesar di dunia. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tren pertumbuhan ekspor tilapia sepanjang 2017–2023 tumbuh rata-rata sebesar 7 persen.
Kinerja ekspor ikan tilapia terus meningkat, tercatat dari 57,41 juta USD pada 2017 menjadi 78,52 juta USD pada 2022. Bahkan, pada 2023, Indonesia berhasil mengekspor ikan tilapia senilai 82 juta USD. Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada masa pandemi Covid-19 volume ekspor ikan tilapia tetap tinggi, yakni mencapai 78,44 juta USD.
“Jadi, angka ini sangat luar biasa, dan ini akan selalu bisa meningkat gitu, kalau revitalisasi kemudian berjalan,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dirjen Perikanan Budidaya KKP) Tb. Haeru Rahayu.
“Pasar nggak usah khawatir, kita banyak, baik untuk domestik maupun yang untuk ekspor. Di tahun 2024 ini saja, sekitar 14 miliar USD. Dan ini diprediksi 10 tahun ke depan ini menjadi 23 miliar USD,” tambahnya.
Saat ini, pemerintah Indonesia menyasar Amerika Serikat sebagai tujuan utama ekspor ikan tilapia. Selain Amerika Serikat, negara tujuan ekspor lainnya adalah Kanada, Uni Eropa, dan Inggris.
“Dalam kurun waktu 10 tahun ini, tren Amerika ini untuk ikan nila itu cukup besar. Kenapa saya bilang Amerika? Karena 51 persen pasar tilapia dunia itu Amerika,” jelas pengamat perikanan, Suhana.
Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga menjadikan wilayah Timur Tengah dan Asia sebagai target ekspor karena minat negara-negara di wilayah tersebut terhadap ikan tilapia cenderung tinggi.
Dibandingkan negara pesaing, nilai jual produk ikan tilapia Indonesia lebih tinggi karena memiliki sertifikasi ekolabel dan ikan berkualitas premium.
Kualitas premium ikan tilapia diperoleh dari budidaya menggunakan media danau sehingga ikan tidak memiliki bau khas dibandingkan ikan yang dibudidayakan di kolam tanah.
Untuk memenuhi kebutuhan ekspor, Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkuat kemitraan dengan pelaku usaha dan masyarakat lokal untuk budidaya ikan tilapia. Saat ini, mayoritas ikan tilapia yang diekspor dari Indonesia berasal dari hasil budidaya di Danau Toba, Sumatra Utara.
“Harus kita akui bahwa supplier terbesar dari Indonesia untuk ekspor ini dari Sumatra Utara, dan salah satunya adalah di Danau Toba. Dua perusahaan ini mengekspor salah satunya yang saya tahu adalah ke Amerika, ke Kanada, dan Taiwan. Tiga negara itu yang banyak disasar oleh kita untuk menjual produknya ikan tilapia,” ujar Tb. Haeru Rahayu.
Dirjen Perikanan Budidaya KKP menjelaskan, salah satu cara Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkuat kemitraan dengan pelaku usaha dan masyarakat lokal adalah berkomunikasi kepada stakeholder, termasuk pemerintah daerah.
“Pemda ini menjadi agregat yang sangat baik. Kenapa? Karena dia yang punya kebijakannya, dia yang punya izin dan seterusnya. Jadi pemda lah salah satu yang kita coba gandeng untuk pengembangan produksi dari si ikan tilapia di samping stakeholder yang lain,” jelas Haeru.
Danau Toba sebagai Pemasok Utama Ekspor Tilapia
Danau Toba menjadi pemasok utama ekspor ikan tilapia di Indonesia karena budidayanya yang menggunakan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) dan Cara Budidaya Ikan yang baik (CBIB) atau good aquaculture practices untuk skema sertifikasi kebutuhan ekspor.
Berdasarkan data BPS pada 2020, kontribusi ekspor tilapia dari Danau Toba mencapai 91,66 persen. Banyaknya perusahaan eksportir dan ratusan petani ikan dalam budidaya tilapia mampu memenuhi kebutuhan produksi tilapia untuk ekspor.
Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatra Utara mencatat bahwa dari 1.145 km2 luas Danau Toba, sekitar 0,4 persen lahan digunakan untuk budidaya ikan tilapia.
Saat ini, terdapat kurang lebih 8 ribu pelaku budidaya ikan nila yang tersebar di tujuh kabupaten sekitar Danau Toba, yakni Kabupaten Toba, Samosir, Karo, Tapanuli Utara, Simalungun, Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Dairi.
“Khusus untuk Danau Toba memang pengelolaan kawasan budidaya ikan itu kita dikuatkan di nila. Karena memang di sana, ada beberapa perusahaan yang hadir dan masyarakat juga banyak melaksanakan program budidaya dengan keramba jaring apung,” jelas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatra Utara, Hamdan Sukri Siregar.
“Kawasan Danau Toba ini ada beberapa perusahaan yang memang sudah go international. Menjadi penyumbang devisa untuk negara,” lanjutnya.
Sebanyak 99 persen ikan tilapia yang diekspor dari Danau Toba dikemas dalam bentuk fillet beku. Harga rata-rata ikan tilapia fillet beku indo di pasar Amerika Serikat pada 2022–2023 lebih tinggi 54,05 persen dibandingkan Cina yang merupakan pesaing utama.
Bisnis ikan tilapia merupakan bisnis yang menggiurkan, karena ikan ini termasuk produk zero waste yang berarti seluruh bagian tubuh dapat dimanfaatkan dan bernilai jual, sehingga bisnis ini sangat menguntungkan.
Menurut salah satu pelaku ekspor ikan tilapia, Tri Dharma, produk ikan tilapia selain fillet beku juga sangat diminati, seperti loin, sisik, kulit, hingga belimit.
“Jadi semua komponen ikan benar-benar teroptimalkan dan mampu kita berikan se-optimum nilai tambah itu sendiri,” ujar Tri Dharma.
Tri Dharma juga mengungkapkan setiap bulannya ia mengirim sekitar 50 kontainer berpendingin ke Amerika dan beberapa negara lainnya.
“Bisa dibayangkan kalau sebulan 50 kontainer berarti setahun luar biasa hampir lebih kurang 600 kontainer. Secara nilai ekonomi sangat stabil, sangat kompetitif, seperti yang saya sampaikan, karena semakin banyak pemain tilapia tentunya akan membuat perusahaan semakin lebih ketat,” jelas Tri Dharma.
Usaha budidaya ikan tilapia di kawasan perairan Danau Toba turut memberikan dampak positif bagi peningkatan perekonomian masyarakat sekitar danau, khususnya petani ikan.
Salah satunya, adalah Hermanto Sinurat di Haranggaol, Simalungun, Sumatra Utara. Sudah 10 tahun ia melakukan budidaya dan meraup penghasilan dari hasil budidaya ikan tilapia dari Danau Toba. Ia mampu panen rata-rata 10 ton ikan tilapia, setiap 6–8 bulan dari 50 ribu bibit yang ia sebarkan.
Selain Hermanto, pelaku budidaya ikan tilapia lainnya, yakni Heral Yoki Amanda asal Simalungun, Sumatra Utara, yang baru dua tahun terjun ke usaha ini, turut merasakan manisnya budidaya ikan tilapia.
“Kalau banyaknya panen yang kita hasilkan itu tergantung dari bibit awal yang kita masukkan. Kalau bibit di atas 50 ribu, dia dapat menghasilkan bahkan sampai 20 ton lebih dalam jangka waktu 4 bulan, bahkan paling lama itu 5,5 ataupun 6 bulan,” jelas Heral Yoki Amanda.
Untuk memenuhi kebutuhan ekspor, rata-rata perusahaan eksportir juga memiliki ratusan keramba yang ada di Danau Toba yang dikelola oleh petani ikan yang telah mendapatkan pelatihan dari dinas terkait dan juga perusahaan.
Perusahaan juga menerapkan teknologi budidaya yang baik dan ramah lingkungan agar mutu ikan tetap terjaga dengan baik serta mampu bereproduksi maksimal agar tidak mengalami gagal panen.
Pelaku ekspor ikan tilapia, Jenny Budianto, menyampaikan bahwa Danau Toba sangat cocok untuk melakukan budidaya ikan tilapia premium karena lingkungannya yang sangat bersih.
“Karena ikan baru bisa tumbuh dengan baik bila lingkungannya baik, itu yang pasti. Yang kedua adalah farming practices, dari kita sendiri, kita melakukan budidaya dengan sangat baik. Kita ada tersertifikasi untuk sustainability, baik untuk best aquaculture practice (BAP), khususnya untuk market Amerika,” ujar Jenny Budianto.
“Dan ada ASC, Aquaculture Stewardship Council untuk market Eropa dan yang lainnya. Kemudian juga kita ada food safety, sertifikasi juga, kemudian juga ada social responsibility. Jadi kita memenuhi seluruh aspek yang dibutuhkan oleh premium market di dunia,” lanjutnya.
Untuk memenuhi masifnya permintaan ikan tilapia, pemerintah meningkatkan produksi melalui pengembangan area atau kampung budidaya di kolam dan tambak berbasis kawasan yang didukung inovasi dan teknologi agar memiliki kualitas setara dengan hasil budidaya dari Danau Toba.
Pemerintah membangun modeling Kawasan Tambak Budidaya Ikan Nila Salin (BINS) di Karawang, Jawa Barat dan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) untuk pembenihan ikan di Sukabumi, Jawa Barat. Kedua sentra tersebut hadir untuk menjawab kebutuhan produksi ikan tilapia di Indonesia.
Di Kawasan Desa Pusaka Jaya, Karawang, Jawa Barat, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang membangun tambak modeling klaster budidaya ikan nila salin di air payau untuk menjawab tingginya permintaan ekspor tilapia di pasar global.
Pembangunan modeling tersebut merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan produksi ikan tilapia nasional dan menjadikan ikan tilapia sebagai salah satu komoditi strategis yang dapat menjadi andalan Indonesia ke depan demi keseimbangan ekonomi dan lingkungan.
Kawasan seluas 84 hektare ini merupakan modeling ikan nila salin menggunakan sistem terintegrasi berkelanjutan. Kawasan ini diharapkan menjadi sumber daya produktif untuk meningkatkan produksi budidaya tilapia.
“Jadi memang produksi ikan di danau-danau itu ada PP 60 Tahun 2021, disampaikan ukurannya bahwa perlu adanya moratorium atau pemberhentian budidaya di keramba-keramba di danau-danau dan dialihkan,” ujar Kepala Tim Kerja Produksi BLUPPB, Agus Dwiono.
“Dalam membangun modeling ini semua komponen, katakanlah teknologi itu semua kita memasukkan di sini. Jadi mulai dari otomatisasi pemberian pakan, ada lining HDPE dan sebagainya kita bikin se-ideal mungkin,” tambahnya.
Terdapat berbagai tahapan budidaya di kawasan ini, mulai dari pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Target hasil budidaya ikan diperuntukkan ekspor dengan fillet berukuran minimal 800 gram ke atas.
Terhitung dari bulan Mei hingga Oktober 2024, hasil panen pertama BLUPPB Karawang adalah 230 ton ikan nila salin. Hasil panen didistribusikan ke perusahaan swasta untuk kebutuhan ekspor. Sementara itu, ikan yang berukuran fillet di bawah 800 gram disalurkan ke pasar lokal.
Agus Dwiono mengungkapkan bahwa antara Unit Pelaksana Teknis (UPT) Karawang dan Sukabumi melakukan kolaborasi untuk menyukseskan Program Prioritas Nasional BINS.
“BBPBAT mengembangkan benihnya, benih ikan nila salin, mereka punya indukan yang katakan berkualitas terus disuplaikan ke BINS kami,” ujar Agus.
Agar bisa melaksanakan upaya peningkatan produksi perikanan budidaya nasional, ketersediaan benih berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan menjadi syarat mutlak.
BBPBAT di Sukabumi memiliki luas sekitar 25 hektare dan terbagi menjadi lima blok dan berperan penting menjadi menyuplai benih unggul sebelum pembesaran dilakukan di tambak Karawang.
Metode teknologi perbenihan yang berhasil dikembangkan oleh BBPBAT Sukabumi adalah teknologi untuk ikan nila dengan skala rakyat. Dengan menggunakan sistem bioflok di dalam kolam terpal, teknologi tersebut dirancang sebagai pembenihan skala rumah tangga agar bisa mendorong masyarakat di seluruh Indonesia bisa mengadopsinya dengan mudah.
Plt. Kepala BBPBAT Sukabumi, Muhammad Nurdin, menyampaikan bahwa masalah besar yang ada di masyarakat terkait budidaya ikan adalah benih yang tidak berkualitas.
“Jadi banyak yang masyarakat berbudidaya, mendapatkan benih yang kualitasnya itu tidak terlalu baik sehingga pertumbuhannya pun juga tidak terlalu optimal,” ujar Nurdin.
Maka dari itu, sebagai salah satu UPT hal tersebut menjadi bagian tersendiri dari BBPBAT Sukabumi untuk menjawab permasalahan benih ini.
Selain disalurkan ke Sentra Budidaya Karawang, hasil pembenihan di BBPBAT Sukabumi juga disalurkan ke berbagai Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang berada di wilayah kabupaten/kota di berbagai wilayah Indonesia agar mendapat benih ikan berkualitas.
Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan potensi budidaya ikan tilapia di berbagai daerah di Indonesia.
“Kita kirim ke Sulawesi misalkan, kita kirim ke Jawa Timur, kita kirim ke di luar Jawa, misalkan ke Sumatra, itu kita akan pakai ukuran yang paling 2-3 cm. Harapannya adalah pertama kita harus memastikan induk yang kita pakai itu berkualitas,”pungkas Nurdin.
Nurdin juga menambahkan distribusi tersebut tidak bisa dilakukan oleh BBPBAT Sukabumi saja, tetapi harus memiliki jejaring agar induk-induk ini terdistribusi dengan baik. Selain itu, mutu ikan nila juga harus diperbaiki dengan berkolaborasi dengan instansi lain.
Pemerintah berupaya meningkatkan produksi ikan tilapia pada 2024 secara terintegrasi, mulai dari hulu hingga hilir.
Penyediaan benih ikan yang premium, sehat dan tahan penyakit diwujudkan melalui pengembangan modeling kawasan tambak budidaya ikan tilapia mulai dari pembenihan hingga pembesaran.
Potensi ekspor tilapia tetap menjanjikan, karena diprediksi mencapai 21,6 miliar USD pada 2023. Tentunya ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk menjadi pemasok utama tilapia terbesar di dunia pada tahun 2033 dengan kualitas ikan bermutu tinggi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.