YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Sejumlah mantan narapidana di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta mengaku menjadi korban penganiayaan dan kekerasaan seksual yang dilakukan oleh petugas selama berada di dalam rumah tahanan (rutan).
Melansir dari Tribunnews, salah satu mantan napi berinisial VT (35) mengaku, kekerasan yang dilakukan berupa pemukulan, sabetan menggunakan selang dan alat vital sapi.
Selain itu, kata VT, mereka juga mengalami pelecehan seksual dengan disuruh telanjang hingga dipaksa melakukan aktivitas seksual menggunakan buah mentimun yang dibuang bijinya dan diisi sambal.
"Pelecehan seksual iya. Kami disuruh telanjang, lalu semua staf menyaksikan kami disemprot pakai air. Kemudian yang parah lagi ada napi dari Polres sama Polda DIY baru datang. Jadi mentimun isinya diilangin, diisi sambal terus disuruh begituan. Habis itu timunnya suruh makan," kata VT, Senin (1/11/2021).
Baca juga: Kultur Menyimpang Polri Dinilai Sulit Diubah, Pakar: Yang Salah Rekrutmen atau Pendidikannya?
VT menjelaskan, ia masuk ke Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta sejak April 2021 dan baru dinyatakan bebas pada 19 Oktober 2021.
"Tanpa ada alasan yang jelas, saya dimasukkan ke sel kering (terpisah). Hampir selama lima bulan saya gak bisa hubungi keluarga," ungkapnya.
Kondisi yang sama juga dirasakan mantan napi lain, berinisial YE. Ia mengaku mendapat penganiayaan lantaran ketahuan memiliki ponsel. Ia lantas dimasukan ke sel kering dan dipukuli oleh sejumlah petugas lapas atau sipir.
YE bercerita bahwa pernah pada suatu hari ia diminta untuk tes urine, dan kala itu hasil tes menunjukkan negatif mengkonsumsi narkotika.
"Tetapi setelah itu saya disuruh minum urin saya. Saya gak mau, lalu urin itu disiramkan ke wajah saya." kata dia.
Baca juga: Kriminolog UI Bicara Soal Budaya Kepolisian: Kebusukan Atasan Menular ke Anak Buah
Selain itu, lanjut YE, jatah makan yang semestinya dapat dinikmati secara utuh, oleh sipir di lapas tersebut, dikurangi.
"Jadi itu dikurangi hanya tiga suap," imbuhnya.
YE menuturkan, dirinya menghuni Lapas Narkotika Kelas II A sejak 2017 dengan vonis hukuman 4 tahun 2 bulan penjara.
"Dari 2017 sampai menjelang 2020 itu tidak ada kekerasan. Setelah lapasnya ganti itu mulai ada kekerasan," ungkapnya.
Saking seringnya mendapat perlakuan kekerasan, serta sel yang ditempatinya terlalu sempit, YE sempat mengalami kesulitan berjalan selama dua bulan.
"Kalau dua bulan saya ada gak bisa berjalan akibat dipukul di daerah kaki."
"Saya trauma waktu itu. Dengar suara petugas takut. Menatap wajahnya saja saya enggak berani," imbuhnya.
Baca juga: Kompolnas: Pimpinan Polri yang Tak Miliki Jiwa Leadership Layak Dicopot
Didampingi aktivis HAM Anggara Adyaksa, kini kasus itu telah dilaporkan ke lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), karena terindikasi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Anggara menyebutkan bahwa sedikitnya ada 35 mantan napi yang kini memberanikan diri untuk berbicara ke publik atas apa yang dialami semasa menjalani hukuman penjara.
"Mereka awalnya ketakutan untuk melapor, tetapi akhirnya kami coba dampingi dan ke ORI DIY," ungkapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.