YOGYAKARTA, KOMPAS.TV- Jaringan Sejarawan Merah Putih (Jas Merah) dibentuk di kediaman GKR Mangkubumi, Minggu (11/4/2021).
Akademisi, praktisi, dan pegiat sejarah serta seni dan budaya pun sepakat untuk mengembalikan nilai-nilai serta warisan sejarah yang ada di Yogyakarta.
Pertemuan itu dihadiri oleh Guru Besar Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM Inajati Adrisijanti, peneliti bahasa dan budaya Jawa kuno dan Asia Selatan KRT. Manu J. Widyaseputra, sejarawan Universitas Sanata Darma Yogyakarta, Baskara T. Wardaya, dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Surakarta Aan Ratmanto.
Kemudian ada dosen Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma F. Galih Adi Utama, Direktur Galangpress Yogyakarta Yulius F. Tualaka, pendiri museum Rumah Garuda yang juga dosen Jurusan Film dan Televisi Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta Nanang Rahmad Hidayat, pendiri Yayasan Rumah Studi Jawa "Makara Dhv ja Sura" Yogyakarta Radityo Krishartanto, serta ketua Sekber Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putra.
Ada sejumlah rencana yang muncul dalam pertemuan para sejarawan dan pegiat seni budaya Yogyakarta tersebut. GKR Mangkubumi, misalnya, berencana untuk melindungi dan menata berbagai situs, petilasan kuno, pesanggrahan, serta destinasi lain yang terkait dengan warisan sejarah.
Baca Juga: Satu Abad Sejarawan Sartono Kartodirjo, Penulis "Pemberontakan Petani Banten 1888"
“Termasuk menjaga kelestarian gunung Merapi, sungai-sungai hingga pesisir selatan,” ujar GKR Mangkubumi.
Ia mendapat tugas khusus dari ayahnya, Sultan HB X, untuk mengembalikan ruang-ruang sejarah seperti dulu. Misalnya, mengembalikan fungsi kawasan alas bunder dan Wanagama di Gunungkidul sebagai hutan lindung.
GKR Mangkubumi mengingatkan orang-orang supaya tidak mudah memangkas atau meratakan pegunungan di kawasan karst pegunungan sewu.
KRT. Manu J. Widyaseputra atau akrab disapa Romo Manu fokus pada situs percandian. Ia menilai situs percandian yang banyak ditemui keberadaannya di tanah Jawa menunjukkan bahwa peradaban nusantara sangat maju, bahkan lebih hebat ketimbang luar negeri.
Contohnya, di India yang sementara ini dianggap pusat peradaban Hindu, tapi di sana tidak diketemukan situs percandian dan hanya sebatas bangunan kuil-kuil.
Sementara di Jawa situs percandian baik yang bercorak Hindu Buddha dibangun sangat kompleks dengan nilai estetika yang luar biasa hebat.
“Salah satu warisan sejarah yang menurutnya penting diajarkan kepada generasi muda adalah alasan mendasar mengapa Pangeran Mangkubumi memilih kawasan yang sekarang disebut sebagai Yogyakarta ini sebagai pusat kekuasaan keraton,” ucapnya.
Baca Juga: Polemik Nobar Film G30S PKI, Sejarawan: Harusnya yang Dikhawatirkan Bangkitnya Orde Baru
Salah satu temuan yang didapatkannya dari mempelajari naskah-naskah kuno adalah pada masa lampau situs-situs kerajaan terletak di sisi utara. Sementara di selatan atau yang sekarang wilayah Yogyakarta ini dulunya disebut sebagai Sapta Sendawa.
Sapta artinya tujuh dan sendawa dari asal kata "sindu" yang artinya sungai. Jadi Yogyakarta dialiri tujuh sungai mulai dari Progo, Bedog, Winongo, Code, Gajah Wong, Kuning, dan Opak.
Ketujuh sungai ini pada masa kuno berfungsi sebagai maritim sungai dengan berbagai fungsi. Di sepanjang aliran tujuh sungai ini terdapat banyak asrama tempat kaum Brahmana melelahkan diri.
Yogyakarta dipilih karena tempat ini bukan wilayah kosong melainkan telah dihuni oleh kaum Brahmana yang secara turun temurun melahirkan tradisi peradaban luhur.
“Inilah salah satu unsur penting yang membuat Yogyakarta memiliki banyak nilai keistimewaan, dan bukan kebetulan jika dikemudian waktu di wilayah Yogyakarta saat ini berkembang pusat-pusat pendidikan dan dikenal orang sebagai tempat untuk belajar," kata Romo Manu.
Sejarawan muda Aan Ratmanto menekankan pentingnya pelurusan sejarah Indonesia khususnya pada 1945 hingga 1950. Pada masa itu, Sultan HB IX memegang peran sentral bagi keberlangsungan NKRI.
Dari arsip-arsip sejarah ditemukan fakta menarik, Presiden Soekarno, yang waktu itu sedang dalam masa pembuangan, memberikan mandat kuasa penuh kepada Sultan HB IX untuk menjalankan roda pemerintahan transisi pada periode 1 Mei hingga 30 Juli 1949.
Ibu kota Republik Indonesia waktu itu berada di Yogyakarta.
Baca Juga: Sejarawan Terus Desak Ridwan Kamil Buru Penjual Surat Nikah dan Cerai Soekarno-Inggit
Pada malam hari 30 Juni 1949 melalui siaran RRI, Sultan HB IX menyatakan Proklamasi kemerdekaan RI untuk yang kedua kalinya.
"Sayangnya fakta sejarah menarik ini belum masuk dalam materi pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah bahkan kampus-kampus,” kata Aan.
Bahkan diorama di Monumen Yogya Kembali sekali pun tidak ada yang mengilustrasikan peran penting Sultan HB IX.
Widihasto Wasana Putra sebagai penggagas Jas Merah, mengajak sejarawan untuk menaruh kepedulian dan bergerak bersama-sama menjaga keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa besar lewat beragam topik dan kajian kesejarahan.
Topik-topik ini akan diinventarisasi dan dikaji lalu dituangkan ke dalam konten media audiovisual sebagai materi pembelajaran sejarah bagi semua, menaruh kepedulian serupa untuk bergerak bersama-sama.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.