JAKARTA, KOMPAS.TV - Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai kritik tajam dari 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG).
Mereka menilai revisi ini tidak hanya merusak profesionalisme militer, tetapi juga bertentangan dengan berbagai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kewajiban hukum hak asasi manusia (HAM) yang telah disepakati Indonesia.
Menurut koalisi, dalam siaran pers yang diterima Kompas.tv, Minggu (16/3/2025), rancangan revisi UU TNI melanggar berbagai prinsip yang telah direkomendasikan dalam forum-forum internasional, seperti Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT).
Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), memiliki kewajiban untuk memastikan akuntabilitas militer serta perlindungan hak-hak sipil.
Baca Juga: Deretan Alasan Rapat Panja RUU TNI Ada di Hotel Mewah, Sekjen DPR Sebut Sesuai Aturan Tata Tertib
Tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil
Dengan mempertimbangkan berbagai pelanggaran terhadap prinsip HAM dan demokrasi, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR dan pemerintah untuk:
Revisi yang tengah dibahas justru bertolak belakang dengan rekomendasi internasional, di antaranya:
1. Pelanggaran yang Terdapat dalam Revisi UU TNI
Koalisi menilai bahwa beberapa poin dalam rancangan revisi UU TNI memiliki implikasi serius terhadap reformasi sektor keamanan dan demokrasi di Indonesia:
2. Menabrak Rekomendasi CCPR dan UPR
Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer dalam kasus pelanggaran HAM dinilai bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) serta Prinsip Yurisdiksi Universal dalam Statuta Roma ICC. Selain itu, operasi militer di Papua yang tidak mengikuti protokol HAM juga melanggar rekomendasi UPR 2022 terkait perlindungan masyarakat adat, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
3. Menghidupkan Kembali Dwi Fungsi TNI
Sejumlah pasal dalam revisi UU TNI memberikan kewenangan kepada militer untuk berperan dalam urusan sipil, termasuk program pembangunan dan keamanan domestik. Hal ini melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Peran Militer, yang sebelumnya telah ditegaskan dalam rekomendasi UPR 2017.
4. Bisnis Militer Tetap Berjalan
Rancangan revisi UU TNI tidak menghapus bisnis militer, yang bertentangan dengan UN Guiding Principles on Business and Human Rights. Hal ini juga melanggar rekomendasi UPR yang meminta Indonesia menghentikan eksploitasi sumber daya alam oleh aktor militer.
Baca Juga: Geruduk Rapat Revisi UU TNI di Hotel Berbintang, KontraS: Janggal, Seolah-olah Ada yang Dirahasiakan
5. Membiarkan Penyiksaan Tanpa Mekanisme Pencegahan
Tidak adanya mekanisme yang jelas untuk mencegah penyiksaan dalam operasi militer menandakan ketidakpatuhan terhadap Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan Indonesia untuk memastikan perlindungan terhadap korban penyiksaan.
6. Menghambat Ratifikasi Statuta Roma ICC
Revisi UU TNI berpotensi memperkuat impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat, bertolak belakang dengan janji Indonesia dalam UPR 2017 untuk segera meratifikasi Statuta Roma ICC.
7. Mengulang Sejarah Orde Baru
Pasal-pasal yang mengatur peran TNI dalam program seperti TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik dianggap mengembalikan konsep dwi fungsi TNI, yang selama Orde Baru menjadi alat represif terhadap masyarakat sipil. Padahal, UU No. 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya dalam pertahanan eksternal. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa dwi fungsi TNI menjadi akar pelanggaran HAM, korupsi, serta kontrol militer atas politik sipil.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.