JAKARTA, KOMPAS.TV- Dosen hukum tata negara di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Ferdian Andi mengingatkan bahaya yang timbul dari rencana perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi (MK).
Rencana revisi tersebut menimbulkan polemik di tengah publik karena proses yang tidak transparan dan tidak melibatkan publik. Jika perubahan UU MK tetap dilakukan akan berimplikasi konstitusional bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia bahkan kondisi negara.
“Karena tidak terbuka, maka memunculkan spekulasi yang beragam di publik. Padahal, rencana perubahan ini juga sudah muncul sejak awal 2023 lalu,” ujar Ferdian dalam diskusi “Let’s Talk About Law” yang digelar Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Selasa (21/5/2024) malam.
Baca Juga: Ketua KPU: Ikhtiar PPP di MK Tidak Tercapai karena Putusan Dismissal
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) ini bahkan lebih jauh menyebutkan, imbas tidak terbukanya rencana perubahan UU MK ini menimbulkan spekulasi dan asumsi yang muncul di ruang publik. Mestinya, rencana perubahan ini dilakukan secara terbuka dengan melibatkan publik.
Ferdian lebih jauh menyebutkan bahwa fenomena legalisme otokartis (autocratic legalism) yang menjadikan MK sebagai obyek lembaga yang dikuasai oleh cabang kekuasaan lainnya, memang sedang menggejala.
Namun bahayanya, gejala ini dapat mengonversi pemerintahan demokratis menjadi pemerintahan otokratik. “Gejala yang terjadi di sejumlah negara di dunia ini harus kita baca dengan seksama. Jangan sampai legalisme otokratik berupa konversi negara demokrasi ke negara otokratik melalui mekanisme hukum terjadi di Indonesia,” kata Ferdian.
Tidak heran, perubahan UU MK saat ini, meski hanya syarat usia dan masa jabatan hakim MK, namun berpotensi mengancam prinsip dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
“Putusan MK No 81 Tahun 2023 telah mengingatkan tentang perubahan UU MK khususnya terkait perubahan syarat usia dan masa jabatan akan mencam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” ucap Ferdian.
Baca Juga: MK Gelar Sidang Putusan Dismisal untuk 207 Perkara PHPU 2024
Lebih lanjut Ferdian mengatakan, dalam putusan MK No 81 Tahun 2023 juga menyebutkan perubahan UU MK dilakukan tidak boleh merugikan subyek yang disebutkan dalam UU MK tersebut yakni hakim MK.
Menurut dia, perubahan UU MK ditujukan pada hakim MK yang diangkat setelah berlakunya UU tersebut diubah. “Poin ini harus dibaca dengan seksama oleh pembentuk UU,” kata Ferdian.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.