JAKARTA, KOMPAS.TV - Tugas pokok dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di akhir periode jabatannya adalah mengantarkan pemilihan umum berkualitas, bukan memperpanjang cawe-cawe.
Pernyataan itu disampaikan oleh pengamat politik Siti Zuhro dalam Program Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (13/3/2024), menjawab pertanyaan Budiman Tanuredjo, host program tersebut, tentang bagaimana posisi Jokowi pasca 2 Oktober 2024.
“Menarik ya, tahun 2022 akhir itu saya mengatakan Pak Jokowi kan sudah dua periode, maka berakhirlah dengan husnul khotimah, itu dalam sekali artinya,” kata Zuhro.
“Artinya apa? Kita lihat sejarah presiden mulai Bung Karno, Pak Harto, terus Pak Habibie, seterusnya sampai Pak SBY, apakah ada yang pasca jadi presiden itu ruwet banget posisinya mau diletakkan sebagai apa pun.”
Baca Juga: Menantu Jokowi, Erina Gudono Jadi Perbincangan Usai Dilirik Maju Pilkada
Indonesia, kata dia, tidak memiliki sejarah seperti itu. Oleh sebab itu. Tugas pokok Jokowi menjelang purnabakti, menurut Wiwi, sapaanya, adalah mengantarkan pemilu yang berkualitas.
“Kita tidak punya sejarah seperti itu, maka tugas pokok dari Pak Jokowi di dua periode terakhir ini, mau purnabakti ini adalah mengantarkan pemilu betul-betul berkualitas, damai, free and fair dan sebagainya, yang baguslah.”
“Bukan cawe-cawe yang diperpanjang , jadi ingin terus in power, jadi ini sindrom nanti,” jelasnya.
Wiwi menambahkan, dalam demokrasi tidak mengenal kultus, demokrasi adalah duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan ada pemilihan umum (pemilu).
“Maka pemilu ini sebetulnya menjadi ajangnya partai-partai politik yang notabene adalah pilar dan aset negara.”
“Kita menyaksikan pemilu tahun ini itu diikuti oleh partai-partai yang standingnya tidak cukup kokoh. Menjelang pemilu kemarin itu mengapa saya melihat partai-partai politik tidak dalam posisi yang sangat powerfull untuk mengatakan sesuatu,” bebernya.
Bahkan kata dia, mendadak ada kultus yang seolah-olah menempatkan Jokowi seharusnya mengatur semuanya.
“Kok lalu mendadak tadi itu ada kultus, seolah-olah Pak Jokowi seharusnya mengatur semuanya. Tidak bisa seperti itu. Ini demokrasi, bukan sistem kerajaan.”
Sebelumnya, dalam program yang sama, pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan, tidak ada aturan di Indonesia yang bisa menempatkan Jokowi menjadi ketua koalisi besar.
“Ketika berbicara mengenai menjadi ketua koalisi besar, apalagi contohnya Barisan Nasional, Barisan Nasional itu sistem parlementer yang memang mengenal koalisi, termasuk koalisi besar,” kata Yunarto.
“Jadi tidak ada pondasi aturan perundang-undangan yang bisa menempatkan Pak Jokowi menjadi ketua koalisi besar,” tegasnya.
Jokowi, kata dia, sekaan-akan dijorokkan untuk menempatkan Prabowo bukan hanya dalam konteks divided government, sebuah istilah dalam sistem presidential, tapi juga dalam konteks yang lebih kecil, yakni divided executive.
Baca Juga: Komentar Gibran Soal Erina Gudono Masuk Bursa Bakal Calon Bupati Sleman
“Bahwa di situ seakan-akan ada matahari kembar, bahkan ada tiga matahari kembar. DI situ ada Prabowo, di situ ada Gibran mewakili Jokowi, bahkan Jokowi tetap ingin ditempatkan di atas partai yang seakan-akan bisa mengatur presiden dan wakil presiden.”
“Saya melihat ada orang-orang yang berupaya menjorokkan Pak Jokowi dalam halusinasi kekuasaan yang kemudian akan menanggungnya adalah Pak Jokowi dan keluarganya sendiri,” tambah Yunarto.
Sementara orang-orang yang menjorokkan Jokowi tersebut, melakukan hal itu supaya tetap ikut dalam menikmati kekuasaan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.