JAKARTA, KOMPAS.TV - Koalisi Masyarakat Sipil mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan prajurit TNI di Manado dan Boyolali.
Berdasarkan catatan Koalisi Masyarakat Sipil, ada dua kejadian kekerasan prajurit yang mendapat sorotan publik. Seperti kericuhan prajurit TNI dan warga pengantar jenazah di depan Markas Kodam XIII/Merdeka di Manado, Sulawesi Utara.
Kemudian, tindakan penganiayaan sejumlah prajurit TNI terhadap massa relawan pendukung pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 2 Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Kabupaten Boyolali.
Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan, kekerasan yang dilakukan prajurit TNI tidak dibenarkan dengan dalih apa pun.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai kekerasan tersebut menunjukan kecenderungan arogansi dan kesewenang-wenangan hukum yang dilakukan prajurit TNI terhadap warga sipil.
Baca Juga: Kapuspen TNI Buka Suara soal Babinsa Data Warga Usai Kunjungan Prabowo
Menurutnya, prajurit TNI yang diduga melakukan kekerasan tidak boleh dibiarkan tanpa proses hukum sesuai dengan perbuatannya baik secara militer maupun Peradilan Umum.
"Pembiaran dan pembenaran terhadap kekerasan menjadi berbahaya, karena akan menjadi preseden buruk yang memicu kekerasan lain di kemudian hari," ujar Isnur dalam keterangan tertulisnya.
Senada dengan Isnur, Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya menyatakan kekerasan prajurit TNI dengan alasan bunyi knalpot motor bising tidak dapat dibenarkan. Apalagi, TNI merupakan alat pertahanan negara.
Dimas menjelaskan, jika terjadi dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh warga sipil, seharusnya TNI melaporkan kepada instansi terkait untuk menanganinya. Bukan dilakukan sendiri, apalagi dengan cara-cara kekerasan.
Dalam konteks penanganan ketertiban umum, termasuk peraturan lalu lintas, hal ini menjadi kewenangan polisi.
Baca Juga: Kasus Penganiayaan Relawan Ganjar-Mahfud di Boyolali, 6 Oknum TNI Jadi Tersangka!
Sementara jika dugaan pelanggaran warga sipil tersebut berkaitan dengan kampanye, maka yang memiliki kewenangan adalah penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Bawaslu.
"TNI tidak mengurusi ketertiban umum, tapi harus berorientasi pada pertahanan negara," ujar Dimas.
Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan pernyataan KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak yang menilai perbuatan prajuritnya lantaran hak membela diri dan aksi-reaksi.
Menurut Usman, pernyataan KSAD dalam wawancara di televisi merupakan hal yang keliru dan sama saja dengan membenarkan tindakan penganiayaan prajurit TNI terhadap warga sipil.
Baca Juga: Karangan Bunga untuk TNI Berjejer di Boyolali usai Penganiayaan Relawan Ganjar, Mahfud: Gimik
Menurutnya, argumen tindakan TNI sebagai aksi bela diri sesungguhnya tidak logis dan tidak beralasan, apalagi kekerasan tersebut dipicu bunyi knalpot bising, bukan karena adanya serangan yang mengancam nyawa dari anggota TNI.
"Pernyataan KSAD yang bertendensi membela anggota TNI pelaku kekerasan adalah hal yang keliru dan harus dikoreksi," ujar Usman.
Usman menambahkan, pembelaan KSAD terhadap kekerasan anggotanya dikhawatirkan menjadi preseden buruk yang memicu kekerasan lain di kemudian hari.
Pihaknya juga mendorong setiap prajurit TNI yang diduga melakukan kekerasan tentu harus ditindak dan diproses hukum di peradilan umum dan dihukum sesuai dengan perbuatannya.
"Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Komisi I DPR RI segera memanggil dan mengevaluasi KSAD yang permisif terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum prajurit TNI. Sikap permisif KSAD menjadi berbahaya karena akan membuat kondisi semakin keruh dan mengakibatkan terjadinya kembali peristiwa kekerasan di Manado, Sulawesi Utara," ujar Usman.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.