JAKARTA, KOMPAS.TV - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) melaporkan lima dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi, Kamis (19/10/2023).
Pelaporan kelima hakim MK ini terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim pada putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres)
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani mengatakan, pihaknya menilai terdapat berbagai bentuk kejanggalan dalam pemeriksaan hingga Putusan Permohonan No 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres.
Perilaku hakim konstitusi dinilai melanggar peraturan MK, hingga putusannya dinilai cacat formil.
Adapun lima hakim yang dilaporkan PBHI ke Dewan Etik Hakim Konstitusi yakni Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah.
Kelima hakim tersebut merupakan yang menyetujui atau mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam laporan tersebut, Julius mengatakan pihaknya menyoroti tiga hal yakni terkait administtasi, formil, dan materil.
Dalam aspek administrasi, yakni terkait perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023 sudah dicabut oleh kuasa hukum.
Adapun pencabutan melalui surat tertanggal 29 September 2023 perihal “Permohonan Pembatalan Pencabutan Perkara No. 91/PUU-XXI/2023 Mengenai Permohonan Uji Materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Terhadap Undang-Undang Dasar 1945”.
Akan tetapi pada Sabtu, 30 September 2023, melalui Surat Bertanggal 29 September 2023 perihal “Permohonan Pembatalan Pencabutan Perkara No. 91/PUU-XXI/2023 Mengenai Permohonan Uji Materi Pasal 169 huruf (q) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Terhadap Undang-Undang Dasar 1945”, Pemohon membatalkan ihwal “Pencabutan Perkara” dimaksud.
Baca Juga: MK Kabulkan Syarat Capres Cawapres, Gibran Berpeluang Ikut Pilpres | Laporan Khusus
Pemohon kemudian meminta kepada Mahkamah agar perkara a quo tetap diperiksa dan diputus. Akan tetapi Mahkamah tidak menerbitkan surat penetapan terkait status pencabutan perkara yang diajukan oleh pemohon.
"Soal-soal administrasi yang jelas dibahas di dalam itu, pada intinya terkait dengan adanya momen di mana perkara sempat dicabut, lalu kembali diperiksa tanpa ada pembahasan, tanpa ada penetapan," kata Julius di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta pada Kamis (19/10).
Terkait dengan aspek formil, kata dia, misalnya, terkait dengan legal standing atau kedudukan hukum pemohon.
Dalam perkara yang membahas soal umur dan pengalaman, kata dia, tidak terlihat dari profil pemohon yang justru merujuk pada satu nama yakni Gibran Rakabuming yang merupakan Wali Kota Solo.
Sementara itu pada aspek materiil atau substansi adanya penambahan frasa yang tidak diajukan oleh Pemohon dan ditambahkan pada amar putusan.
"Hakim Konstitusi yang membicarakan Perkara melalui kesempatan kuliah umum memberikan komentar yang menyinggung soal batas usia capres-cawapres yang sedang dalam Pengujian Uji Materiil di Mahkamah Konstitusi dengan mengaitkan dan mencontohkan adanya beberapa pemimpin muda di zaman Nabi Muhammad dan negara lain," ungkap Julius.
Ia pun menegaskan laporan tersebut bukan berbasis insinuasi, asumsi, atau dugaan-dugaan, namun merujuk pada hasil Putusan para Hakim Konstitusi dari 7 putusan yang ada karenanya laporan ini mudah untuk ditindaklanjuti dan diperiksa lebih lanjut.
Baca Juga: Hakim MK Kabulkan Syarat Pernah Jadi Kepala Daerah! Apa Alasannya?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.