“Aslinya itu sejak dulu tertulis Tandoeooong Morawa, sekarang, di dalam surat keterangan yang diduga palsu itu ditulis ‘Tanjung’ dengan ejaan baru.”
“Kalau dulu Tandoeoooeng, T A N D O E O O O E N G, sekarang ditulis ‘Tanjung’ biasa, itu ‘Tanjung’ yang dikenal ejaan sudah tahun 1973, ejaan yang disempurnakan, itu sudah sangat jauh,” bebernya.
Selain itu, lanjut dia, saat memberi keterangan di pengadilan, para saksi dan terdakwa sekalipun mengaku tidak mempunyai tanah itu.
“Katanya hanya dibisiki oleh temannya. Dan para penggugat pun merasa tidak tahu tanah itu di mana, yang 234 orang itu tidak tahu tanahnya di mana,” imbuh Mahfud.
Oleh sebab itu, pemerintah merasa bahwa perkara ini harus dipersoalkan sampai final keputusan pengadilan di tingkat kasasi, demi menyelamatkan harta negara.
Saat ini, menurut Mahfud, dilakukan upaya hukum dari sudut hukum pidana, karena hukum pidananya belum inkracht.
“Kita melakukan bedah kasus dan memang ada kejanggalan-kejanggalan yang nanti akan disampaikan, dan telah sebagiannya disampaikan di dalam memori kasasi, itu tanah di Tanjung Morawa.”
Ia menduga ada pihak yang menjadi sponsor dalam gugatan 234 warga untuk menguasai tanah milik negara tersebut.
“Dan kami menduga, berdasarkan temuan-temuan surat perjanjian, di situ memang ada sponsor-sponsornya yaitu pebisnis.”
Baca Juga: Eksekusi Bangunan di Lahan PTPN II kawasan Desa Sampali Ricuh, Diwarnai Aksi Saling Dorong!
Menurutnya, diduga ada perusahaan yang menjanjikan bahwa jika mereka menang dalam gugatan, akan diberi upah masing-masing sebesar Rp1,5 miliar.
“Ini nanti kita sampaikan ke Mahkamah Agung. Tadi kami bedah kasus bersama para akademisi dari empat universitas besar di Indonesia,” kata Mahfud.
“Dari UI Profesor Tuti Harkrisnowo, yang kedua dari UGM Profesor Eddy Hiariej dan Prof Markus, ahli hukum pidana. Ketiga, Prof Hibnu dari Unsoed, dan Prof Didik dari Fakultas Hukum Unair.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.