JAKARTA, KOMPAS.TV - Rokok tidak hanya dapat memperburuk kesehatan seseorang, tetapi bisa berpotensi merugikan bagi anak.
Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes dr Endang Sumiwi menilai bahaya rokok tidak hanya diterima secara pribadi, tapi juga anggota keluarga terutama kepada anak.
Bahkan menurut Endang, rokok dapat dapat berpotensi menyebabkan stunting. Hal tersebut merujuk penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial UI pada 2018.
Temuan penelitian itu Balita yang tinggal dengan orang tua perokok tumbuh 1,5 KG lebih kurang dari anak-anak yang tinggal dengan orang tua bukan perokok.
Di sisi lain konsumsi rokok yang tinggi menjadinya sebagai pengeluaran terbesar kedua di rumah tangga.
Baca Juga: Acara Sarasehan Kades se-Jateng: Ganjar Pranowo Ajak Kades Percepat Atasi Kemiskinan dan Stunting!
Endang menjelaskan data dari Global Adult Tobacco Survey sebesar Rp382 ribu per bulan dikeluarkan orang dewasa untuk membeli rokok dalam keluarga.
Jika pengeluaran rokok tersebut ditekan, dan dialihkan untuk beli protein hewani yang dibutuhkan oleh anak tidak menutup kemungkinan angka 21 persen stunting di Indonesia bisa berkurang.
"Kalau mau berkontribusi untuk stunting, para orang tua tidak usah merokok dan lebih baik gunakan uangnya untuk membeli protein hewani seperti telur. Balita yang terpapar rokok di rumah menjadi salah satu hambatan kita dalam menurunkan stunting," ujar Endang dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/6/2023).
Senada dengan Endang, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes dr Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan, konsumsi rokok dan hasil tembakau mempunyai dampak terhadap sosial ekonomi dan Kesehatan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasioanl (Susenas) 2021 menjelaskan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak dibanding pengeluaran kebutuhan protein di keluarga.
Baca Juga: Ketahuan Merokok 4.513 Kali saat Kerja selama 14 Tahun, Gaji PNS di Jepang Dipotong Rp163 Juta
Berdasarkan data tersebut belanja rokok merupakan belanja terbesar kedua di keluarga dan tiga kali lebih tinggi daripada membeli telur.
"Rokok jadi persentase pengeluaran keluarga terbesar kedua yakni sebanyak 11,9 persen baik di perkotaan maupun di pedesaan, dibandingkan untuk mereka yang mengonsumsi makanan bergizi seperti telur, daging, dan ayam," ujarnya.
Perwakilan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dr Feni Fitriani Taufik menjelaskan di RS Persahabatan pernah ada penelitian pada tiga kelompok bayi yang dilahirkan dari ibu yang tidak merokok, ibu yang jadi perokok pasif, dan ibu perokok aktif.
Hasilnya didapatkan pada plasenta bayi dengan ibu perokok aktif dan pasif itu sama-sama ditemukan nikotin.
Baca Juga: Jokowi Ingatkan Bapak-Bapak, Jangan Beli Rokok Pakai Dana Bansos
Kemudian dari waktu lahir pun panjang badan dan berat badan bayi jauh lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.
"Jadi, pajanan rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir, tapi di dalam kehamilan pun itu sudah sangat berpengaruh kepada bayi," ujar Feni.
Ia melanjutkan, ada istilah secondhand smoke dan thirdhand smoke. Secondhand smoke adalah asap rokok yang dilepaskan oleh perokok kemudian dihirup oleh orang-orang di sekitarnya.
Sementara thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok. Umumnya tidak terlihat tapi berbahaya, bukan hanya asap tapi residu dari orang yang merokok yang menempel terutama di dalam rumah seperti gorden, karpet, dan sofa.
"Itu mengandung kimia berbahaya jika terhirup oleh orang-orang yang ada di rumah seperti anak-anak dan Balita," ujar Feni.
Baca Juga: KJP Mei Belum Cair, Ternyata Ada Uji Kelayakan Penerima, Pelajar Merokok Bantuannya Dicabut?
"Kalau berbicara stunting, secondhand smoke dan thirdhand smoke menyebabkan beban ekonomi keluarga akan berlipat. Sebab perkembangan anak terganggu," tambahnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.