JAKARTA, KOMPAS.TV - Jakarta E-Prix 2022 akan digelar kurang dari sebulan lagi. Sebanyak 22 pembalap akan mengaspal di Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC) yang berlokasi di kawasan Ancol, Jakarta Utara, 4 Juni 2022 mendatang.
Sirkuit sepanjang 2,4 kilometer dengan 18 tikungan ini dibangun hanya dalam tempo 60 hari. Alhasil, sirkuit ini pun mendulang pujian khalayak dan disebut sebagai sirkuit dengan pembangunan tercepat di dunia.
“Proyek sirkuit ini, sampai saat ini, yang paling tercepat dibangun di dunia dengan trek permanen hanya 60 hari dari awal pembangunan,” ujar Jakarta EPrix Operation Manager, Nuno Fernandez, dalam cuklipan video yang diunggah ke media sosial beberapa waktu lalu.
Ajang balap mobil listrik ini juga disebut akan menjadi standar baru tentang bagaimana ajang sportainment dapat digelar berkelanjutan di Indonesia.
Senior Sustainability Manager FIA Formula E London, Iona Neilson, dalam sebuah acara webinar mengatakan, sejak hadir 2014 lalu Formula E menjadi ajang balap otomotif pertama di dunia yang berprinsip bebas emisi.
“Formula E bisa menjadi platform yang sangat baik untuk meningkatkan kesadaran soal keberlanjutan dan energi terbarukan kepada para penonton dan para penggemar,” tutur Iona pada webinar series Net Zero Sport Emission Race bertajuk ‘Worlds First: Season 8 - Jakarta E-Prix: Sustainability Perspective’ beberapa waktu lalu.
Melalui Formula E, FIA ingin meningkatkan kesadaran bahwa kendaraan listrik mampu mengurangi emisi sehingga dapat meningkatkan kualitas udara. Kemunculan ide mengenai Formula E didasari kekhawatiran CEO Formula E, Alejandro Agag, terkait perubahan iklim. Sejak itu, ia ingin mengkombinasikan motorsport dengan konsep keberlanjutan agar dapat berkontribusi nyata melestarikan dunia bagi generasi selanjutnya.
Sebagaimana tertulis di laman resmi FIA Formula E, semua bermula sejak Maret 2011, ketika Agag dan Presiden FIA Jean Todt bertemu di sebuah restoran di Paris. Dalam pertemuan ini, pendiri Formula E sudah punya misi jelas, menciptakan balapan di jalan-jalan kota paling ikonik di dunia. Bukan hanya itu, ia juga ingin mempromosikan kendaraan listrik yang mengusung energi berkelanjutan untuk masa depan yang lebih bersih.
Setelah melalui berbagai pengembangan, ajang balap Formula E pertama digelar di Olympic Park Beijing pada 2014. Mobil balap Gen1 saat itu menggunakan teknologi baterai listrik yang belum pernah dicoba di trek balap sebelumnya. Sejak saat itu, Formula E dinilai memimpin pergeseran kendaraan berbahan bakar bensin (BBM) ke kendaraan berbahan bakar listrik untuk energi berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Ketua Pelaksana Formula E: Kami Harap BUMN Bisa Berikan Sponsor
Target Jakarta Nol Emisi Karbon 2050
Sejak mengaspal pertama kali, ajang balap Formula E terus tumbuh dalam kancah sportainment dan menjadi olahraga pertama yang memiliki jejak nol emisi karbon sejak awal. Semangat tersebut yang turut dibawa pada ajang balap mobil listrik di Jakarta. Gelaran ini selaras dengan target Jakarta mencapai net zero emission atau nol emisi karbon pada 2050 seperti yang dipaparkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Sektor transportasi menghasilkan hasil gas rumah kaca terbesar. Dan kota-kota saat ini di seluruh dunia menghadapi hal yang sama," kata Anies dalam diskusi daring Jakarta E-Mobility, Selasa (1/3/2022) lalu.
DKI Jakarta sendiri menempati peringkat 12 besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia berdasarkan laporan perusahaan teknologi bidang kualitas udara, IQAir, Maret 2022. Konsentrasi polusi udara di Jakarta pada 2021 mencapai 39,2 g/m3 atau tujuh kali lebih besar dari pedoman yang ditetapkan World Health Organization (WHO).
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, juga menyebut kegiatan balap Formula E sesungguhnya merupakan komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam ikhtiar birukan langit Jakarta atau menekan polusi udara Jakarta. Salah satunya dengan mengganti kendaraan BBM menjadi kendaraan bertenaga listrik.
“Jadi, kami ingin udara ini bersih dan sehat, salah satunya nanti ke depan menggunakan mobil listrik,” kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, beberapa waktu lalu.
Riza menjelaskan, sumbangsih terbesar polusi udara di Jakarta adalah akibat asap kendaraan. Salah satu langkah yang dilakukan oleh Pemprov DKI dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan meluncurkan 30 bus listrik Transjakarta yang beroperasi mulai Maret 2022 lalu. Nantinya Pemprov DKI berencana mengganti 50 persen armada bus Transjakarta menjadi kendaraan listrik pada 2025.
Secara bertahap program ini tidak hanya menyasar transportasi umum tetapi juga kendaraan pribadi masyarakat hingga mobil-mobil dinas pemerintah. Mobil listrik sebagai kendaraan bebas emisi yang menggunakan energi terbarukan tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga dipercaya menjadi solusi bagi pengurangan polusi karbon di Jakarta.
Selain itu, Pemprov DKI juga telah merilis tiga kebijakan terkait upaya menekan polusi di Jakarta. Kebijakan tersebut antara lain; pembatasan usia kendaraan, pembebasan pajak BBN (Bea Balik Nama) untuk kendaraan listrik berbasisi baterai, hingga kewajiban uji emisi motor dan mobil.
Baca Juga: Jakpro Klaim Tiket VIP Formula E Sudah Ludes Terjual, Pembeli Paling Banyak Warga Asing
Peran Mobil Listrik Kurangi Emisi Karbon
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, mengaku setuju ajang Formula E akan menjadi pemantik bagi masyarakat untuk beralih ke kendaraan rendah emisi. Meski demikian, ia turut menyadariajang tersebut juga tidak akan serta merta menurunkan kadar emisi di Jakarta.
“Jadi, balapan itu sendiri sudah tidak mengeluarkan emisi, itu satu, yang kedua seperti yang saya katakan tadi, ini adalah momentum pemicu untuk kita semua segera bergeser dari kendaraan konvensional yang sangat polutif dan boros energi ke kendaraan listrik yang nol emisi karbon,” kata Safrudin saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Safrudin menilai, penggunaan kendaraan listrik khususnya di Jakarta dinilai genting mengingat kadar polusi udara terbilang tinggi. Angka tersebut disumbang oleh penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar bensin yang memicu pemanasan global dan krisis iklim yang mengkhawatirkan.
“Bahkan kalau kita tidak lakukan sesuatu untuk menurunkan pengunaan energi fosil, maka tahun 2100 temperatur atmoster kita akan naik 3,5 derajat celcius bahkan lebih,” kata Safrudin.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.