JAKARTA, KOMPAS.TV – Munculnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 merupakan upaya pemerintah mengembalikan program Jaminan Hari Tua (JHT) ke fungsi awalnya sebagai tabungan masa tua.
Namun, hal ini menuai kritik dan protes dari berbagai pihak yang kemudian menuntut aturan tersebut dicabut.
Terkait hal ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan, Permenaker No 2 Tahun 2022 ini lahir atas dasar rekomendasi dan aspirasi berbagai stakeholder.
Yakni mendorong pemerintah menetapkan kebijakan yang mengembalikan program JHT sesuai dengan fungsinya, sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Hasil rekomendasi itu adalah dari rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPRI RI yang dihardiri oleh berbagai pihak.
Di antaranya dihadiri oleh Institusi Dewan Jaminan Sosial Nasional, Dewas BPJS Ketenagakerjaan, Direksi BPJS Ketenagakerjaan, Pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
“Kenapa saat itu ada Permenaker No 19 Tahun 2015 yang memungkinkan bisa mengambil sewaktu-waktu JHT ketika mengalami PHK. Pada waktu itu yang harus saya sampikan kepada semuanya bahwa pada waktu itu kita belum memiliki bantalan ketika teman-teman mengalami PHK,” kata Menaker Ida dalam siaran langsung (live) Program Satu Meja, Kompas TV, Rabu (16/2/2022).
Namun sekarang, lanjut Ida, dengan UU Cipta Kerja dan Peraturan pemerintah No. 37 Tahun 2021, pemerintah mempunyai program baru, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Hal ini yang kemudian diyakini dapat menjadi bantalan bagi pekerja yang mengalami PHK serta manfaat baru tanpa mengiur karena yang mengiur ini adalah uang pemerintah
Baca Juga: Batas Usia Pencairan Dana JHT Tuai Polemik, DPR: Sosialisasi JHT Tak Tersampaikan dengan Baik
“Dan benar ini memang JHT merupakan uang peserta. Kami tidak mengutak-atik itu. Justru kewajiban BPJS mengembangkan uang itu sehinga ketika masuk pada usia pensiun yang tidak produktif, peserta bisa memanfaatkan uang itu,” katanya, menandaskan.
Dengan demikian, Ida menekankan bahwa selama tiga bulan ke depan, pihaknya akan terus mensosialisasikan JKP dan JHT ini.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silabami menyampaikan, tuntutannya sama yakni, meminta Permenkaer tersebut direvisi atau dicabut.
“Jadi, permasalahan ini ada pada sosialisasi yang kurang, momentumnya juga tidak pas karena tengah menghadapi pandemi Covid-19,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan, sosialisasi itu harusnya sebelum turun Permenakernya sehingga pihaknya bisa memberikan masukan-masukan.
“Mungkin benar apa yang disampaikan Ibu menteri ke Tripartit tapi ini tidak sampai, makanya terjadi penolakan-penolakan,” ucapnya.
Terkait hal itu, Staf Khusus Kementerian Ketenagakerjaan Dita Indah Sari menjelaskan, konsepsi asuransi sosial itu memang membutuhkan waktu untuk sosialisasi kepada masyarakat.
“Kalo persoalan sosialisasi pertanyaannya, seberapa cukup sosialisasi dan dialog itu. Berapa kadar dialog yang dirasa cukup untuk mengakomodir ratusan serikat pekerja. Makanya karena ada banyaknya serikat pekerja kita, pertama kalau masuk ke lembaga kerja sama Tripartit karena dirasa itu unsur yang representatif,” katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daolay mengatakan, kesimpulan rapat dengar pendapat saat itu adalah bagaimana pemerintah membuat aturan yang berkenaan dengan kebijakan untuk menyejahterakan para pekerja.
Tetapi, secara khusus tidak ada cerita bahwa JHT itu bisa diambil saat usia 56 tahun.
“Tidak ada pembicaraan JHT itu bisa dicairkan saat 56 tahun. Itu yang menurut saya tidak arif, kurang bijak ketika ada aturan seperti ini yang tiba-tiba muncul,” ujar Saleh.
Kemudian, ia juga sepakat bahwa secara sosiologis, Permenaker ini keluar pada saat yang kurang tepat.
Karena para pekerja ini kan baru-baru ini mengalami hal-hal yang menurut mereka ditinggalkan.
Misalnya, buruh ditekan oleh UU Cipta Kerja, lalu soal upah minimum.
Keduanya memuncul perdebatan dan protes tetapi tetap disahkan.
Kemudian muncul aturan JHT ini. Hal ini seakan-akan membuat pekerja ini ditinggalkan.
Mereka dianggap sebagai bagian yang harus manut saja.
“Dan pekerja ini tidak dilibatkan dalam proses permenaker ini, kalau ada yg dilibatkan ini komponen yang mana. Ini yang membuta para pekerja ini ditinggalkan. Makanya ini perlu dikritisi. Nanti kalau memang ini terbukti tidak tepat atau merugikan para pekerja harus ditinjau ulang, kalau perlu dicabut,” tandasnya.
Sebagai informasi, aturan baru terkait JHT dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua mengubah aturan sebelumnya yakni Permenaker No 19/2015.
Dalam aturan sebelumnya tersebut, memungkinkan pekerja peserta BP Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) mengklaim tabungan JHT-nya satu bulan setelah mengundurkan diri (resign) atau usai mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sekarang, tabungan JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun (usia pensiun), meninggal dunia, cacat total tetap, atau ketika berganti kewarganegaraan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.