JAKARTA, KOMPAS.TV – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan hanya berupa kekerasan fisik semata, tapi juga berupa kekerasan verbal dan kekerasan ekonomi.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, ada tahapan dalam KDRT, mulai dari kekerasan verbal berupa kata-kataa kasar.
“Ada yang bentuknya verbal, dengan kata-kata kasar, yang menjatuhkan martabat seseorang dalam rumah tangga,” ucapnya saat menjadi narasumber dalam Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Sabtu (5/2/2022).
Selain kekerasan verbal berupa kata-kata kasar, ada juga kekerasan ekonomi, yakni si suami enggan memberikan nafkah.
Baca Juga: Dampak Langsung KDRT pada Anak, Kekerasan dalam Hubungan Cinta akan Dianggap Normal
Padahal dalam Undang-undang Perkawinan, suami adalah pihak yang harus menafkahi.
“Seringkali perempuan akan mengalami dampak kekerasan ekonomi, misalnya bukan karena dia tidak bisa mencari nafkah atau penghasilannya sedikit.”
“Tapi karena memang suami memang tidak mau memberi nafkah untuk menekan istri misalnya,” lanjut dia.
Dari sejumlah kekerasan dalam rumah tangga tersebut, kekerasan fisik merupakan yang termudah untuk diadukan dan didampingi. Sebab, pada kekerasan fisik ancamannya terlihat langsung.
Menurutnya, Komnas Perempuan tidak sekali dua kali menerima pengaduan tentang kekerasan fisik, bahkan ada yang mengakibatkan ancaman pembunuhan.
“Ada suami yang mengejar-ngejar istri yang sedang mengadu, dengan membawa senjata tajam. Jadi menurut saya ini bukan persoalan sederhana, tetapi ini sesuatu yang harus kita lindungi dan juga dampingi, bahkan secara psikologi.”
Mariana membenarkan bahwa jika kasus KDRT tidak diadukan, akan menjadi seperti bola salju.
Meskipun, kata dia, kerawanan terhadap KDRT selalu ada dalam setiap perkawinan, jika setiap pasangan tidak bisa menghadapi persoalan dalam internal rumah tangga mereka.
“Yang kerap menyebabkan terjadi KDRT? Seperti yang tadi dibilang, kalau sudah mengalami penderitaan, sudah terancam, sudah memiliki rasa tidak aman, kalau itu dibiarkan, tidak diadukan, maka dia akan mengalami kerugian fisik maupun psikis. Bahkan harta benda.”
Sementara, narasumber lain, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh mengaku, sangat bersyukur dan mengapresiasi pemerintah yang mendorong pengesahan RUU TPKS.
“Waktu periode lalu, 2014-2016 saya termasuk pengusul UU TPKS, tapi memang tidak mudah untuk menggolkan UU tersebut.”
“Jadi, ketika Presiden sudah membuka peluang, bahkan sudah melakukan statement yang luar biasa bahwasanya pemerintah mendorong UU ini untuk segera disahkan, saya berharap ini bukan hanya dari sisi atasnya saja tapi harus sampai tingkat bawah,” harapnya.
Negara, kata dia, harus menyediakan tempat yang aman, hukum yang memadai dalam menerima aduan dari korban kekerasan, baik KDRT maupun kekerasan seksual.
Jangan sampai korban menjadi korban berikutnya. Sebab, menurutnya, jika kesehatan mental korban tidak disembuhkan, ada dua kemungkinan yang akan dialami.
“Kalau korban ini tidak disembuhkan secara mental dan sebagainya, bisa jadi dua, menjadi korban berikutnya atau menjadi pelaku.”
Oleh sebab itu, lanjut dia, harus ada pihak yang dapat menjadi supporting system, khususnys secara kelembagaan.
Baca Juga: Soal Ceramah Oki Setiana Dewi, Komisi IX DPR RI: Harus Bedakan Aib dan KDRT
“Supporting system bukan hanya keluarga tapi juga lembaga. Bagaimana misalnya dia harus melapor ke polisi, di polisi bagaimana menerimanya, bagaimana hukumnya dan sebagainya.”
“Karena bisanya yang banyak didengarkan dari sisi pelaku. Kita jarang mendengarkan dari sisi korban,” tambah dia.
Padahal, menurutnya yang namanya kekerasan, idenya tidak pernah muncul dari korban, selalu dari pelaku.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.