JAKARTA, KOMPAS.TV - Beberapa hari belakang, jagat sosial media ramai perdebatan mural wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertuliskan '404 Not Found' dan beberapa coretan jalanan lain dihapus oleh aparat berseragam.
Semakin riuh, karena Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Faldo Maldini berkicau di Twitter bahwa pengahapusan tersebut dilakukan karena didapati tanpa izin.
Staf khusus menteri sekretaris negara itu mengatakan, melukis mural tanpa izin adalah tindakan kesewenang-wenangan serta melawan hukum yang dapat dikenai sanksi pidana.
“Kalau mural tidak perlu izin, nanti rumah kita bisa digambar Messi (Pemain sepakbola Lionel Messi-red), padahal kita fans Ronaldo,” kata Faldo, Sabtu (14/8/2021).
Menurutnya, jika memang ingin mengkritik, maka banyak ruang yang terbuka untuk melakukan kritik.
“Sesulit apa pun situasi kita, banyak orang yang lagi sulit sekarang. Bukan alasan kita untuk bertindak sewenang-wenang, bertindak melawan hukum karena ini bisa mencederai hak orang lain,” katanya.
Baca Juga: Viral! Mural Mirip Jokowi Bikin Heboh dan Jadi Trending Topik
Namun, penjelasan Faldo itu justeru dinilai beberapa pihak sebagai bentuk pemerintah yang antikritik. Mudah tersinggung.
Terlepas dari cuitan Faldo. Sebenarnya, bagaimana sejarah grafiti, mural atau juga lebih dikenal dengan istilah street art? Apakah ketiga sama atau punya karakteristik sediri-sendiri?
Seperti dilansir dari Harvard Political Review, asal-usul seni jalanan, street art, sama misterius dan kaburnya dengan orang-orang yang menciptakannya.
Para sejarawan telah menelusuri akarnya kembali ke abad 1 SM, dan beberapa menyimpulkan bahwa sejak awal masyarakat Romawi memang senang mencoret-coret pesan di dinding bata-kering. Tapi hal tersebut belum dijadikan sebagai dasar awal.
Baru setelah sampai di era Revolusi Prancis, ketika pemberontak mulai menganggu seni kelas atas untuk melakukan protes terhadap hierarki yang membelenggu masyarakat Prancis.
Sejak itu, kebangkitan seni jalanan di seluruh dunia telah mencerminkan berbagai gelombang suara politik. Salah satu contoh paling ikonik dari seni jalanan politik adalah grafiti sepihak Tembok Berlin, pertarungan ekspresi publik versus totalitarianisme.
Grafiti tembok Berlin berjudul 'Bruderkuss' karya seniman Rusia, Dmitri Vrubel, menjadi paling terkenal dan fenomenal di dunia.
Lukisan itu menampilkan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, Leonid Brezhnev, mencium Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Jerman Timur, Erich Honecker.
Baca Juga: Sosiolog: Jika Presiden Jokowi Tidak Marah Saat Dikritik, Kenapa Mural Harus Dihapus?
Pada konteks awal, seseorang pasti terpukau dengan karya seni grafiti. Bahkan, pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, seni jalanan itu telah berkembang menjadi bentuk ekspresi seni interdisipliner yang kompleks.
Dari grafiti, stensil, cetakan dan mural, melalui lukisan skala besar dan proyek kolaborasi artistik, hingga instalasi jalanan, serta seni pertunjukan dan video.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.